Juliaca, Peru (ANTARA) - Di sebuah kamar kecil di rumah beratap seng di Kota Juliaca, selatan Peru, Asunta Jumpiri memegangi sweter robek warna hitam dan merah milik anak laki-lakinya berusia 15 tahun.

Setengah lusin foto anaknya yang digantung di dinding, mata yang berwarna gelap seolah-olah sedang menatap Jumpiri.

Brayan, anaknya, sedang memakai baju tersebut ketika ditembak di bagian belakang kepala pada 9 Januari lalu, yaitu saat terjadi kekerasan paling mematikan di Peru dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, meninggalkan luka mendalam di negara Pegunungan Andes itu.

Brayan pergi ke kota bersama ibunya, adik berusia sembilan tahun dan kakaknya yang sedang hamil untuk menemui dokter. Brayan kemudian minta izin pergi ke kafe internet dan berjanji untuk berkumpul lagi di sebuah persimpangan jalan.

Namun, Brayan ditangkap saat terjadi aksi protes. Jejak rekaman kamera yang diperoleh Reuters memperlihatkan saat-saat Brayan ditembak, yang tampak jelas dan sweter merah-hitam yang dipakainya.

Jiwa Brayan tidak tertolong dan meninggal akibat luka yang diderita tiga hari kemudian, yaitu pada 12 Januari di rumah sakit, setelah sempat menjalani operasi untuk membersihkan gumpalan di bagian otak.

Hasil otopsi memperlihatkan Brayan mengalami keretakan pada tulang tengkorak dan meninggal akibat trauma yang disebabkan proyektil senjata api.

"Anda pikir kami akan memaafkan?," kata Jumpiri, ibu Brayan di rumahnya. "Kami tidak akan memaafkan. Saya akan berjuang. Saya siap mati. Demi Peru, saya akan berjuang, saya tidak takut lagi sekarang karena anak saya sudah mati."

Peru, yang berpenduduk 35 juta jiwa, dengan cadangan tembaga yang besar dan kota Inca kuno Machu Pichu, sedang berjuang untuk memulihkan stabilitas setelah berbulan-bulan diguncang protes anti pemerintah dan bentrokan yang menewaskan 49 orang.

Jalan-jalan diblokade di seluruh negeri dan tuntutan agar presiden serta Kongres mundur, bergema.

Pada 7 Desember lalu, Presiden sayap kiri Pedro Castillo disingkirkan dan ditahan, memicu protes dari pendukungnya yang menuntut keadilan dan pemulihan keamanan.

Sejak aksi protes pertama pada pertengahan Desember lalu, jaksa setidaknya telah membuka 11 investigasi terhadap kematian beberapa orang akibat bentrokan dengan pihak keamanan.

Jaksa penuntut di Kota Juliaca mengatakan bahwa mereka tidak berwenang membahas investigasi dan polisi pun menolak untuk berkomentar.

Bentrokan memang sudah mereka, tapi kemarahan dan api dendam masih tetap membara.

Zarai Toledo, seorang akademisi pada Center for Inter-American Policy and Research (CIPR), yang mempelajari konflik sosial di Peru, mengatakan bahwa gelombang protes yang terjadi sekarang tidak seperti saat negeri kembali ke demokrasi, dan sangat berbahaya bagi demokrasi itu sendiri.

"Negeri ini sangat sulit diprediksi, tapi melihat dari tingkat penindasan yang terjadi, kita bisa berargumen bahwa mereka yang menjadi korban tidak akan pernah berhenti berjuang," katanya.

Bekas Luka Akibat Kekerasan

Brayan adalah salah satu dari 19 orang yang tewas di Juliaca. Bekas kekerasan bisa dilihat di seluruh kota. Gedung-gedung dan mobil yang hangus terbakar, bekas ban yang dibakar, serta serpihan kaca di jalan-jalan.

Spanduk anti pemerintah yang menuntut presiden mundur masih tergantung di jalan layang di kota itu.

Anggota keluarga kemudian berkumpul, mendapatkan bantuan hukum dan membentuk asosiasi untuk mendorong agar pihak berwenang bertindak.

Mereka berkoordinasi dengan keluarga dan organisasi di seluruh negeri yang mewakili mereka yang menjadi korban selama aksi protes dan kemudian mengajukan tuntutan hukum kepada Presiden Dina Boluarte serta pejabat pemerintah lainnya.

Boluarte menegaskan bahwa tidak ada yang kebal hukum jika sudah berhubungan dengan kematian akibat protes, tapi pihak keluarga korban menilai bahwa tidak ada perubahan yang terjadi.

Rosa Luque mengecam pihak berwenang karena tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengumpulkan bukti setelah anak laki-lakinya yang berusia 18 tahun, Heliot Luque, juga tewas ditembak sekitar pukul 5: 30 sore pada 9 Januari. Hasil otopsi memperlihatkan bahwa Heliot tewas akibat tembakan di dada.

"Bukankah mereka itu pihak yang berwenang dan tugas mereka untuk melakukan itu," kata Luque.

Ratusan pengunjuk rasa sudah ditangkap dan beberapa diantara mereka dihukum penjara, sejak pemerintah bersikap keras terhadap aksi protes, termasuk ancaman hukuman penjara yang keras bagi mereka yang membantu kegiatan yang dianggap sebagai "teroris".

"Mereka tidak segera menyelidiki kematian itu, tapi justru mereka yang ikut demo dan merusak atau yang memimpin, mereka semua sudah di penjara. Keluarga kami yang sudah tewas sudah tidak berharga lagi," kata Dionisia Aroquipa yang anak perempuannya berusia 17 tahun, Jhamith Nataly, juga tewas pada 9 Januari 2023.

Berdasarkan hasil otopsi yang diperoleh Reuters, sebuah peluru kaliber 9mm bersarang di tubuhnya.

"Kami menginginkan keadilan, investigasi yang mendalam. Saya ingin tahu siapa yang menarik pelatuknya," kata Aroquipa.

Sumber: Reuters

Baca juga: Peru umumkan suntikan 9 miliar dolar, angkat ekonomi di tengah protes
Baca juga: Demonstran tewas di Lima saat krisis politik Peru berlanjut
Baca juga: Presiden Peru serukan perdamaian politik di tengah protes












 

Penerjemah: Atman Ahdiat
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2023