Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menyerahkan sedikitnya 1.043 sertifikat tanah kepada masyarakat di Blora, Jawa Tengah, di sela kunjungan kerja hari kedua di provinsi tersebut, Jumat.
"Dari 1.160 sertifikat yang harus diserahkan, yang sudah jadi 1.043. Ada sisa sedikit. Seratusan lebih yang belum selesai, tapi 1.043 sertifikat sudah diserahkan ke bapak-ibu dan saudara-saudara sekalian," ujar Presiden dalam sambutannya yang dipantau secara daring dari Jakarta, Jumat.
Ia mengaku senang bisa menyerahkan sertifikat tanah di Blora, sebab konflik lahan di Blora termasuk di Kelurahan Ngelo, Cepu dan Karangboyo, terjadi sejak tahun 1947.
"Oleh sebab itu saya perintahkan beberapa tahun yang lalu pada Menteri BPN untuk dilihat di lapangan, dicek betul, terutama ini yang di Kelurahan Ngelo, Kelurahan Cepu, dan Kelurahan Karangboyo, ini ada apa kok nggak selesai-selesai. Ini mestinya BPN bisa menyelesaikan dan hari ini ternyata masalahnya bisa diselesaikan," terangnya.
Presiden minta pemberian sertifikat tanah itu disyukuri, meski ada sekitar 123 sertifikat yang belum diserahkan, dari total 1.160 sertifikat. Sisa sertifikat itu akan segera diserahkan dalam waktu dekat.
Menurut Presiden, sertifikat yang diberikan berlaku selama 30 tahun, dan bisa diperpanjang 20 tahun, kemudian bisa diperbarui lagi 30 tahun. Sehingga total penggunaan sertifikat bisa selama 80 tahun.
Pada kesempatan itu Presiden juga menyerahkan SK Perhutanan Sosial dan SK Tanah Objek Reforma Agraria. Ia berpesan agar tanah yang ada dimanfaatkan secara produktif dan tidak ditelantarkan.
Presiden mengatakan apabila tanah ditelantarkan maka SK bisa dicabut kembali.
Dia meminta agar lahan yang ada ditanami tanaman produktif seperti jagung dan pohon jati atau jagung dan mahoni agar semua berjalan beriringan antara penanaman tanaman produktif dan kehutanan.
Dalam kesempatan itu Presiden juga sempat berdialog dengan dua penerima SK Perhutanan Sosial bernama Latina dan Yatimin.
Keduanya mengaku akan terus menanam jagung di lahan yang ada. Namun para petani itu juga mengeluhkan masalah pupuk.
Masalah pupuk
Mengenai kelangkaan atau mahalnya harga pupuk, Presiden menjelaskan bahwa masalah pupuk utamanya disebabkan terjadinya perang antara Rusia dengan Ukraina.
"Problemnya sekarang kita (Indonesia) banyak impor bahan dan pupuk dari Rusia dan Ukraina. Sak iki (sekarang) Rusia dan Ukraina lagi perang. Yang kekurangan pupuk bukan hanya Indonesia, negara lain yang tidak punya pabrik pupuk apalagi, tidak dapat apa-apa sama sekali," terangnya.
Kepala pemerintahan menyadari pupuk selain mahal juga langka.
Dia menyebut dari kebutuhan pupuk Indonesia sebanyak 13 juta ton.
Sejauh ini Indonesia baru bisa memproduksi 3,5 juta ton. Sementara impor pupuk adalah sebanyak 6,3 juta ton.
Sehingga total ketersediaan pupuk adalah 9,8 juta ton dari total kebutuhan 13 juta ton.
"Masih kurang 3,2 juta ton. Oleh sebab itu bulan lalu Pupuk Iskandar Muda di Aceh kita (pemerintah) hidupkan lagi, kita biayai, sudah bisa berproduksi 570 ribu ton. Yo akeh (banyak) tapi dengan kebutuhan kita belum ada apa-apanya. Itu masih jauh dari kebutuhan yang kita inginkan," jelasnya.
Presiden mengatakan karena jumlah pupuk yang lebih sedikit dari kebutuhan, maka secara hukum pasar menyebabkan harga pupuk naik.
Namun pemerintah terus berupaya mengatasi hal tersebut.
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2023