Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan anomali cuaca yang berpotensi menyebabkan krisis pangan perlu ditanggapi dengan tindakan adaptasi dan mitigasi yang dilaksanakan secara beriringan.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Aris Pramudia mengatakan anomali iklim akan terjadi di Indonesia sepanjang 2023 hingga 2024 mendatang.
"El-Nino yang erat dengan kekeringan dan La-Nina yang erat dengan curah hujan tinggi akan mempengaruhi musim tanam dan musim panen, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas pertanian," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Aris menuturkan beberapa tindakan adaptasi dan mitigasi telah dirumuskan untuk menghadapi anomali iklim tersebut, di antaranya pemantauan informasi prediksi curah hujan termasuk potensi bencana hidrometeorologi.
Kemudian, menerapkan jadwal tanam yang tepat serta varietas yang adaptif, melaksanakan gerakan penanganan dampak perubahan iklim, serta memanfaatkan infrastruktur panen air hujan yang tepat.
"Tindakan mitigasi perlu dilakukan melalui kolaborasi antara berbagai macam stakeholders, seperti BMKG, BRIN, Kementerian Pertanian, pemerintah daerah serta perguruan tinggi," ujar Aris.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa badai La-Nina dan El-Nino merupakan efek yang timbul akibat perubahan iklim.
El-Nino merupakan kejadian di mana suhu air laut di Samudra Pasifik memanas di atas rata-rata suhu normal.
Sedangkan, La-Nina merupakan peristiwa turunnya suhu air laut Samudera Pasifik di bawah suhu rata rata di daerah sekitarnya.
Saat terjadi La-Nina, jelas Aris, angin berhembus lebih kencang dari biasanya di sepanjang Khatulistiwa di atas Samudra Pasifik, dari Amerika Selatan menuju Asia.
Angin pasat itu membuat air hangat berkumpul di lepas pantai Asia, sehingga menaikkan permukaan air laut. Sementara di sisi timur, kondisi itu menyebabkan air dingin naik ke permukaan.
"Sedangkan saat El-Nina yang terjadi adalah sebaliknya. Angin pasat yang lebih lemah menyebabkan air hangat kembali mengalir, sehingga lebih sedikit air dingin naik ke permukaan," kata Aris.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Suwandi mengatakan pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk menghadapi resiko krisis iklim yang berdampak terhadap tanaman pangan di Indonesia.
Sejumlah langkah itu berupa pelaksana metode metode quick wins mulai dari pemetaan wilayah rentan banjir pada musim penghujan, penggunaan peralatan pengering, dan pencanangan penggunaan asuransi terhadap petani bila mengalami gagal panen.
Suwandi mengungkap bahwa komoditi beras dan jagung dari tahun ke tahun terus meningkat akan tetapi fenomena perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap stok kebutuhan pokok tersebut.
"Pemerintah mencoba untuk mencanangkan program antisipasi perubahan iklim dengan cara mengidentifikasi varietas yang kerentanan terhadap air dan kekeringan cenderung rendah, peningkatan kualitas SDM, serta peningkatan kualitas riset," pungkasnya.
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023