pasien peserta BPJS bisa tidak mendapatkan haknya jika begini
Kulon Progo (ANTARA) - Anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamam Cahyadi menilai penerapan rekam sidik jari untuk pasien peserta BPJS Kesehatan di RSUD Wates memberatkan bagi pasien sakit berat, lansia dan anak.

Hamam Cahyadi di Kulon Progo, Rabu, mengatakan BPJS Kesehatan mewajibkan setiap pasien rujukan BPJS harus melakukan perekaman biometrik melalui rekam sidik jari atau finger print pasien yang tidak bisa diwakilkan oleh orang lain.

"Pasien sendiri yang harus melakukan. Hal ini akan memberatkan pasien terutama mereka yang sakit berat, lansia dan anak. Di mana, proses finger print membutuhkan waktu kurang lebih lima menit tiap pasien, sehingga menimbulkan antrean yang panjang," kata Hamam dalam keterangan tertulisnya.

Ia mengatakan persoalan antrean yang panjang di RSUD Wates meliputi dua tahap. Yaitu antrean pendaftaran pasien kemudian dilanjutkan antrian finger print.

Pada kondisi pasien tertentu, misalnya pasien poli jiwa hal ini tentu menimbulkan masalah rumit lagi. Dalam proses perekaman sidik jari membutuhkan lebih banyak sumber daya manusia (SDM) untuk membantu proses pengambilan datanya. Bahkan ada relawan pasien poli jiwa yang mengeluhkan pasien tidak bersedia dibawa ke RSUD Wates.

"Selama ini relawan atau pihak keluarga yang mewakili untuk konsultasi dokter atau mengambil obat. Namun sejak Nopember 2022 diberlakukannya finger print untuk semua pasien BPJS tanpa terkecuali, bagi pasien poli jiwa ada beberapa keluhan," katanya.

Baca juga: BPJS Kesehatan jelaskan soal antrean rekam sidik jari di RS
Baca juga: PERSI harapkan pembahasan pemakaian pemindai sidik jari di layanan JKN

Dia mengatakan sanksi yang akan diberikan pihak BPJS jika tidak dilakukan finger print, maka akan dihapus dari kepesertaan BPJS atau distop obat dan layanan dokter.

"Sungguh ironis, pasien peserta BPJS bisa tidak mendapatkan haknya jika begini. Mestinya ada pengecualian untuk kondisi pasien berat, lansia dan anak, dan terutama bagi pasien poli jiwa," katanya.

Hamam mengatakan berdasarkan data Dinas Kesehatan Kulon Progo per tahun 2020, tercatat ada 1.700 lebih ODGJ di Kulon Progo. Total kasus tersebut merupakan angka tertinggi nasional. Pemerintah agar memberikan perhatian dengan memberikan kemudahan pada pasien tersebut, agar bisa segera ditangani atau memperoleh pengobatan terbaik.

"Kami minta Pemkab Kulon Progo proaktif memediasi persoalan finger print ini dengan BPJS," katanya.

Direktur RSUD Wates Eko Budiarto saat dikonfirmasi mengatakan pemberlakuan finger print sudah sesuai ketentuan BPJS Kesehatan, hanya kondisi khusus yang tidak perlu perekaman sidik jari.

Untuk pasien pasien ini tidak finger print, tapi semua pasien wajib hadir, datang di rumah sakit.

"Sudah dilakukan pengecualian, tidak finger print. Yakni pasien dengan kondisi berat, memakai brangkar, pasien dengan kelainan sidik jari, kelainan di ekstremitas, pasien dengan gangguan tremor atau gangguan syaraf, dan pasien bayi," katanya.

Baca juga: BPJS Kesehatan: pemindai sidik jari untuk minimalkan administrasi

Baca juga: Persi protes BPJS Kesehatan soal keharusan pindai sidik jari

Baca juga: Kartu Peserta BPJS akan diganti dengan sidik jari

Pewarta: Sutarmi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023