Jakarta (ANTARA) - Insan perfilman Indonesia menghadapi beragam masalah yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama, terkait dengan profesi hingga standar kerja yang ideal dan baik di dalam produksi film.

Permasalahan itu mencakup, mulai dari belum adanya kode etik industri film secara keseluruhan hingga isu ketenagakerjaan yang seluruhnya berkepentingan dan bertujuan tentang bagaimana menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman bagi pekerja film.

Sebelumnya pada tahun lalu, Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Paggaru kepada ANTARA mengungkapkan kepengurusan badan perfilman periode yang baru akan membentuk dewan etik, termasuk kode etik, sesuai dengan mandat Kongres BPI. Pada tahun ini, dewan etik BPI akhirnya telah dibentuk, namun penyusunan kode etik yang menyeluruh masih menjadi pergulatan.

Kode etik profesi bidang perfilman sebetulnya sudah dimiliki oleh asosiasi-asosiasi di industri film. Namun, menjadi tantangan tersendiri bagi BPI mengingat biasanya kode etik ditujukan untuk satu jenis profesi tertentu, sementara industri film terdiri dari beragam profesi.

Kesulitan BPI itu karena ada lebih dari 45 organisasi yang penekanannya berbeda-beda. Organisasi editor punya perhatian pada masalah editorial yang personelnya suka bekerja malam. Sinematografer juga punya perhatian sendiri, demikian juga dengan sutradara dan produser.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir juga mengamini bahwa kode etik untuk keseluruhan industri film menjadi lebih sulit untuk dibuat. Pembuatan kode etik relatif lebih mudah jika hanya mengacu pada profesi tertentu saja.

Kehadiran kode etik menjadi penting sebab dari situlah pedoman etika bisa menjadi pegangan oleh insan perfilman, termasuk untuk memutuskan apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran etika saat bekerja di industri film.

Di samping soal etika, insan perfilman juga menghadapi rangkaian problem ketenagakerjaan, mulai dari jam kerja yang terkadang dianggap berlebih, keselamatan serta keamanan selama bekerja dan terlibat di dalam produksi film, hingga jaminan kesehatan.


Masalah ketenagakerjaan

Sistem ketenagakerjaan yang umum berlaku, yaitu maksimal delapan jam kerja dalam sehari. Akan tetapi, standar ini menjadi sulit untuk diterapkan di industri film. Di sisi lain, pembatasan jam kerja juga dinilai penting untuk dilakukan. Yang menjadi permasalahan bagi industri film, hitungan dimulainya jam kerja masih sulit untuk diidentifikasi.

Bagi Sekretaris Jenderal Aprofi Linda Gozali, hal itu masih tetap harus dibicarakan. Aprofi dan semua pemangku kepentingan, perlu berbicara bersama untuk membahas mengenai apa yang wajar dan pantas selayaknya yang bisa dijadikan sebagai kesepakatan bersama.

Berdasarkan survei "Kertas Posisi Sepakat di 14" yang diterbitkan oleh Indonesian Cinematographers Society (ICS) bersama Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), sebanyak 54,1 persen pekerja film bekerja selama 16-20 jam per hari.

Jam kerja yang berlebih, menurut Sekretaris Jenderal ICS Muhammad Firdaus, salah satunya dapat memicu potensi terjadinya kecelakaan kerja. Ini juga ditunjukkan dari hasil survei asosiasi profesi sinematografer ICS pada tahun ini bahwa tidak teliti (65,9 persen) dan kelelahan (60,2 persen) merupakan faktor penyumbang tertinggi saat kru film bekerja pada ketinggian seperti di atas steger untuk merekam adegan.

ICS juga menyoroti pentingnya penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di seluruh perusahaan atau rumah produksi film, termasuk juga adanya fasilitas dan akses ke pelatihan K3 bagi pekerja film dan manajemen keselamatan kerja lainnya.

Tak hanya soal itu, isu ruang aman bagi pekerja film terkait dengan problem kekerasan seksual juga mendapat sorotan yang cukup besar. Merespons urgensi itu, Aprofi pun menyusun pedoman teknis untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup produksi film.

Pedoman tersebut, termasuk satu pedoman lain, yaitu panduan dan prosedur operasional standar adegan intim dalam film, rencananya akan didistribusikan oleh Aprofi kepada para produser yang menjadi anggota asosiasi tersebut pada bulan ini.

Dua panduan ini yang coba disusun yang sebenarnya sudah selesai dari tahun lalu, tapi belum dipublikasikan ke seluruh anggota karena waktu itu baru diujicobakan.

Inisiasi untuk membuat pedoman teknis tersebut diawali dari banyaknya cerita atau pengakuan korban pelecehan dan kekerasan seksual di arena produksi film dalam beberapa tahun terakhir.

Biasanya ada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, sehingga membuat korban tidak berani bicara sebab kasus tersebut menyangkut masa depan hidupnya dan pekerjaannya. Di sisi lain, belum ada akses perlindungan, keadilan, dan pemulihan bagi korban di industri ini.

Ini yang membuat korban menjadi semakin takut. Selain pelakunya ada relasi kuasa, kemudian tidak ada yang menjamin bahwa korban itu bisa terlindungi, sehingga semua atau sebagian besar memutuskan untuk diam.

Peristiwa lain yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yaitu pandemi COVID-19, juga semakin memicu kesadaran mengenai pentingnya jaminan kesehatan secara fisik untuk seluruh pekerja film. Hal ini sebetulnya mudah dan bisa dilakukan oleh perusahaan film atau rumah produksi dengan pemberian BPJS kepada pekerjanya.

Asuransi kesehatan bisa dipenuhi, bisa dilakukan, dan prosesnya sudah dilakukan selama pandemi yang diharapkan akan terus dilanjutkan ke depannya untuk kebaikan bersama.

Di sisi lain, asosiasi profesi editor film, yaitu Indonesian Film Editors (INAFEd) menyoroti potensi masalah kesehatan mental yang mungkin dialami pekerja, terutama editor film, yang menghabiskan waktu cukup lama di depan layar.

Ketua Umum INAFEd Cesa David Luckmansyah mengatakan pekerjaan editor film memang tampaknya nyaman dari luar, akan tetapi mereka menghadapi tantangan yang intens, yaitu harus melakukan ribuan cutting dari ribuan shot sampai merangkai cerita dengan memosisikan diri sebagai karakter sekaligus penonton.

Bagi editor, proses editing penting sekali. Hanya saja, hal-hal terakit, kesejahteraan dan keselamatan, termasuk asuransi, jam kerja, deadline kerja, dan lain-lain, ini perlu dibicarakan lagi.

Selama ini para editor film merasa aman-aman saja, tetapi ketika dianalisa lagi, ternyata tidak sepenuhnya aman. Mereka juga bisa lelah. Ketika berada di titik jenuh, akhirnya terjebak dalam rutinitas kerja keras, bukan kerja cerdas.


Kreativitas manusia

Industri film masuk dalam kategori industri kreatif di mana manusia memegang peranan penting yang dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, sementara teknologi atau mesin seharusnya hanya menjadi penunjang kerja, bukan sebaliknya.

Di lapangan, yang kerap terjadi adalah pekerja selalu mengejar estetika, tetapi sayangnya lupa dengan komponen keselamatan dalam bekerja.

Dari perspektif yang lain, Linda dari Aprofi mengingatkan bahwa ekosistem perfilman merupakan sebuah arena atau ruang gerak di mana sebuah seni, yang merupakan produk kreativitas manusia, dan manajemen dapat dihasilkan. Akan tetapi, dalam hal tertentu, seni tidak bisa dipaksakan dalam manajemen yang saklek, sebagai contoh harus selesai dalam waktu delapan jam kerja.

Ketua Umum Indonesian Film Directors Club (IFDC) Ifa Isfansyah menekankan bahwa standarisasi kerja dalam industri film harus berpihak pada kreativitas. Penggunaan teknologi yang semakin maju seharusnya dapat seiring dengan cara kerja yang juga maju. Dengan begitu, industri yang dimotori kreativitas manusia ini tetap bisa menghasilkan karya yang berkualitas.

Kita harus bersama dengan badan perfilman bersama dengan teman-teman asosiasi lain, termasuk dengan produser, menciptakan sesuatu yang kepentingannya satu, yaitu kepentingannya kreativitas itu. Ini semua agar bisa mencapai sesuatu, yang ujungnya adalah film yang bagus.


Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023