Kita selama ini menjual gabah, kemudian membeli beras dengan harga mahal. Kenapa kita tidak menjual beras?
Denpasar (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Made Mangku Pastika mengusulkan Bali perlu menghidupkan kembali usaha-usaha penggilingan padi di sejumlah daerah di Pulau Dewata ini, untuk mengurangi ketergantungan beras dari luar pulau.
"Kita selama ini menjual gabah, kemudian membeli beras dengan harga mahal. Kenapa kita tidak menjual beras? Kan nilai tambahnya banyak, dapat dedaknya, kulit berasnya, tenaga kerja juga," kata Pastika saat mengadakan reses, di Denpasar, Selasa.
Pastika dalam kegiatan reses bertajuk Kebijakan Pertanian Menuju Ketahanan Pangan: Mungkinkah? dengan menghadirkan Sekretaris HKTI Prof Bali Dr drh Nata Kesuma, dan Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ir Nyoman Suastika.
Selain itu, juga hadir ekonom I Gde Sudibya serta tokoh pertanian yang juga mantan pejabat di Dinas Pertanian Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana dan I Wayan Sunarta.
Gubernur Bali periode 2008-2018 itu menyoroti Bali selama ini produksi gabah kering gilingnya jika dikonversikan menjadi beras selalu surplus dibandingkan kebutuhan konsumsi masyarakat Bali. Namun, masalahnya Bali masih banyak mendatangkan beras dari luar pulau, terutama dari Jawa Timur.
Produksi gabah kering giling di Bali per tahun sekitar 618 ribu ton, sedangkan kebutuhan konsumsi Bali 379 ribu ton.
Menurut dia, fenomena gabah dari Bali dibawa keluar pulau memang sudah sejak lama. Penyebabnya karena usaha selip (penggilingan padi dan penyosohan beras) di Bali banyak yang tutup disebabkan pengelolaan yang tidak bagus.
"Kok di Jawa Timur bisa, di Bali tidak bisa? Di Bali baru punya duit sedikit itu sudah dipakai duitnya untuk hal-hal yang tidak produktif, sehingga tidak mampu lagi membeli gabah dari petani," ujarnya.
Oleh karena itu, Pastika mengusulkan perlu upaya untuk menghidupkan kembali usaha penggilingan padi supaya menjadi beras.
"Tentu ini iklimnya harus diperbaiki dengan manajemen yang benar serta pengawasan dari pemerintah. Selain tentu harus ada dukungan dari berbagai pihak," ujar mantan Kapolda Bali ini pula.
Pastika dalam kesempatan itu, juga menceritakan saat menjabat Gubernur Bali sudah sempat menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Jepang untuk membangun usaha penggilingan padi yang modern di lahan milik Pemprov Bali di Kabupaten Tabanan.
"Pemerintah Jepang yang membangun pabriknya, memberikan teknologi dan menjamin akan membeli gabah dari semua petani. Termasuk bagaimana perlakuan pada padi dan gabah yang benar, sehingga akan menghasilkan beras yang seenak berasnya Jepang. Jadi, kita tidak perlu keluar apa pun," ujarnya.
Namun, sayangnya kerja sama itu tidak terealisasi, karena tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Kabupaten Tabanan. Padahal dari Pemerintah Jepang sudah sempat meninjau langsung lokasi yang akan menjadi tempat usaha penggilingan padi tersebut.
Terkait upaya agar orang Bali mau tetap menjadi petani dan mempertahankan budaya pertaniannya, menurut Pastika, ini harus dilihat secara realistis.
"Orang mau menjadi petani kalau dapat menjamin kehidupannya. Masak kita tetap memaksa masyarakat untuk menjadi petani kalau hidupnya tidak sejahtera? Hal itu karena mayoritas petani di Bali tidak memiliki lahan yang luas," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, kata Pastika, misalnya ketika petani Bali memiliki sejumlah anak, tidak harus semuanya menjadi petani, sehingga kepemilikan lahan tidak makin sempit akibat berbagi dengan saudaranya. Selain itu, tentu harus dibarengi dengan penggunaan teknologi agar produktivitas tinggi.
Ekonom I Gde Sudibya menyoroti komitmen pemerintah daerah untuk berpihak pada pertanian jika tidak diikuti dengan anggaran yang memadai berarti baru sebatas daftar keinginan.
Pemprov Bali minimal dapat mengalokasikan anggaran sekitar lima persen dari APBD untuk pertanian, dari alokasi saat ini hanya 1,8 persen.
Selain itu, Sudibya berharap pemda dapat memperhatikan para petani dengan produk unggulan dari sejumlah daerah di Bali seperti cengkih, vanili, dan kakao yang nilai jualnya tinggi.
Sekretaris HKTI Bali Dr drh Nata Kesuma menyampaikan persoalan sektor pertanian di Bali di antaranya alih fungsi lahan pertanian hingga lebih 1.000 hektare per tahun, rata-rata kepemilikan lahan petani yang kecil sekitar 0,25 hektare, petani dihadapkan pada kondisi sulit penjualan hasil pertanian dan sebagainya.
"Ketahanan pangan di Bali sangat mungkin diwujudkan. Tetapi ini harus didukung komitmen bersama dari semua pihak untuk bekerja sama dan berkolaborasi. Selain juga diperlukan 'leadership' yang cerdas di semua level," ujarnya pula.
Sedangkan tokoh pertanian yang juga mantan birokrat Wisnuardhana dan Sunarta berharap komitmen pemerintah pada pertanian harus didukung dengan DOA (duit, orang/SDM, dan anggaran).
Baca juga: Dinas Pertanian: Bali miliki stok beras 56 ribu ton
Baca juga: DPD dorong Sensus Pertanian 2023 di Bali didesain kontekstual
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023