Jakarta (ANTARA) - Asosiasi profesi sinematografer Indonesia berharap materi tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dapat masuk ke dalam kurikulum sekolah atau perguruan tinggi film sehingga dapat meminimalkan kecelakaan kerja yang mungkin terjadi saat bekerja di industri film.
"Kalau saya berharap K3 itu bisa menjadi sebuah pedoman dan itu bisa dijadikan sebuah kurikulum, masuk ke dalam kurikulum, masuk ke dalam kelas. Syukur-syukur dia bisa jadi mata kuliah. Tapi kalau belum, minimal dia terselip di antara mata kuliah yang lain," kata Sekretaris Jenderal Indonesian Cinematographers Society (ICS) Muhammad Firdaus dalam Konferensi Film Nasional yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Menurut Firdaus, K3 sulit untuk diterapkan di industri film mengingat para kru juga tidak mendapatkan pengetahuan tersebut melalui lembaga pendidikan formal. Pembelajaran tentang K3 dinilai harus ada di sekolah film karena untuk bekal para kru saat masuk ke dalam industri perfilman.
Baca juga: K3L dinilai menjadi prioritas dunia usaha
Survei dari ICS yang dilakukan pada tahun ini menunjukkan bahwa 81 persen persen pekerja film tidak pernah mengikuti pelatihan K3 yang berhubungan dengan bekerja pada ketinggian. Sebanyak 56,2 persen mendapatkan pengetahuan bekerja pada ketinggian dari pengalaman, sementara hanya 16,8 persen yang mendapatkannya dari pelatihan.
Survei juga menunjukkan 14,2 persen pekerja yang bekerja pada ketinggian pernah mengalami kecelakaan dan 57,2 persen pernah melihat kecelakaan yang berhubungan dengan bekerja pada ketinggian.
Berdasarkan survei itu, setidaknya ada tiga faktor penyebab yang mendorong kecelakaan kerja di industri film, antara lain tidak teliti (65,9 persen), kelelahan (60,2 persen), dan pengetahuan (59,7 persen).
Menurut Firdaus, kecelakaan kerja berkaitan dengan jumlah jam kerja. Ketika seseorang terlalu banyak bekerja, dia menjadi lelah sehingga menjadi tidak teliti.
"Semua itu memicu kecelakaan kerja terjadi. Ini memang penting kita carikan solusinya bersama-sama," kata Firdaus.
Baca juga: Kemnaker dorong keselamatan kerja jadi prioritas industri
Oleh sebab itu, Firdaus mengatakan asosiasi mendorong agar perusahaan film atau rumah produksi film dapat menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3) sesuai dengan peraturan pemerintah. Selain itu, perusahaan harus menyediakan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), berkontribusi terhadap pelatihan K3, serta menggunakan tenaga kerja yang tersertifikasi merujuk pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
"Penerapan SKKNI karena di dalam sistem manajemen itu disebutkan harus menggunakan tenaga kerja yang kompeten. Mau nggak mau itu, harus ada analisa tugas kerja, banyaklah di situ," kata Firdaus.
ICS mendorong agar pemerintah melakukan hal-hal mulai dari pengawasan hingga penerapan sanksi terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan K3. Tak berhenti sampai di situ, dari sisi pekerja, ICS menyarankan ada apresiasi bagi mereka yang mengikuti pelatihan atau memiliki sertifikasi.
Baca juga: Rio Dewanto harapkan asosiasi film punya satu tujuan
Baca juga: Aprofi ajak pelaku industri film terapkan asuransi kesehatan untuk kru
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023