Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, MS Hidayat, mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya maka pemerintah harus menentukan prioritas kebijakannya kepada pergerakan sektor riil. "Membaiknya makro ekonomi Indonesia sebetulnya merupakan pertumbuhan yang artifisial, belum didukung dengan hal-hal yang fundamental," katanya di Jakarta, Selasa. Menurut dia, target pertumbuhan ekonomi tidak dapat dicapai jika dibarengi dengan kebijakan uang ketat (tight money policy) dan upaya memperkuat nilai tukar mata uang rupiah. "Saya tanya mana prioritasnya? Yang mendesak sekarang bagaimana sektor riil dibuat supaya bergerak dan bisa tumbuh," katanya. Kalau sektor riil yang menjadi prioritas, maka pemerintah harus mulai menurunkan suku bunga dan melonggarkan kebijakan uang ketat yang diterapkan BI. "Tapi itu belum tentu BI setuju. Pertumbuhan makro ekonomi secara langsung atau pun tidak langsung tidak berefek terhadap sektor riil dan kemajuan dunia usaha," ujar dia. Untuk itu, Hidayat meminta BI dan pemerintah duduk bersama dan menyamakan pandangan serta visi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Kondisi perekonomian Indonesia, hingga kini masih tergolong sulit karena daya beli turun akibat kenaikan harga BBM pada Oktober. "Penjualan sejak Desember 2005 sampai sekarang mengalami penurunan sebesar 40 persen. Perusahaan mobil penjualan turun lebih dari 50 persen. Retail sejak November hingga sekarang penjualannya turun dibawah 45 persen," paparnya. Akibatnya, lanjut dia, kapasitas produksi menurun dan pertumbuhan terhambat karena tidak adanya investasi baru yang masuk. Untuk menarik investasi, kata dia, pemerintah harus menawarkan insentif dan memiliki cetak biru investasi yang menunjukkan sektor mana yang didahulukan pertumbuhannya. "Karena kita sedang berkompetisi dengan negara lain, maka kita harus bisa menawarkan insentif yang minimal sama dengan negara saingan kita," ujar dia. Ia mencontohkan PPH yang rata-rata 30 persen di Indonesia, sementara di China sejak 2005 sudah mencapai 24 persen, Singapura 20 persen dan Thailand 28 persen. "Kalau bisa pada 2007 kita 27 persen, kepatuhan membayar semakin tinggi dengan `rate` yang rendah" usulnya. Ia memperkirakan kondisi sektor riil baru akan mulai membaik pada kuartal kedua tahun 2006. "Harus ada kompromi antara target pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter, dan kurs mata uang," ujar Hidayat. (*)
Copyright © ANTARA 2006