lokasi yang terbaik adalah pada koridor angkutan massal berbasis rel
Jakarta (ANTARA) - Pengamat transportasi dan tata kota Yayat Supriatna meminta kajian terkait jalan berbayar elektronik (Electronic Road Pricing/ERP) mempertimbangkan aspek integrasi transportasi khususnya angkutan massal berbasis rel.
“Kalau ingin menerapkan ERP, maka lokasi yang terbaik adalah pada koridor angkutan massal berbasis rel seperti KRL, MRT, atau LRT dengan daya tampung penumpang yang banyak, dan jadwal perjalanan yang pasti,” katanya di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Pengamat sebut kebijakan ERP harusnya bukan hanya Jakarta
Baca juga: Dishub DKI analisis pergerakan lalu lintas di lima ruas jalan
Menurut dia, apabila ERP diterapkan di 25 ruas jalan, angkutan publiknya sudah memiliki kapasitas dalam menampung potensi pengguna mobil atau motor yang akan beralih ke angkutan tersebut.
Akademisi Universitas Trisaksi, Jakarta itu menambahkan rencana ERP di koridor TransJakarta masih perlu dimaksimalkan karena armada jumlahnya terbatas.
Selain itu, waktu antara suatu titik perhentian bus (headway) juga tidak pasti, seperti MRT yang konsisten sepuluh menit sekali.
Sedangkan TransJakarta, kata dia, headway-nya lebih dari 20 menit atau lebih untuk koridor tertentu yang akan merugikan penumpang.
"Untuk di jalan yang belum ada publik transportasinya itu memang agak sulit. Mengandalkan TransJakarta itu punya masalah karena waktu kedatangan TransJakarta lebih lama waktu tunggunya, halte-haltenya juga padat," imbuh dia.
Oleh karena itu, lanjut Yayat, yang paling rasional adalah pembuat kebijakan harus memperhatikan antara sisi waktu dan biaya.
Jika ERP tarifnya lebih murah, maka yang naik kendaraan pribadi akan tetap menggunakan kendaraan pribadinya.
Namun, kata dia, jika tarifnya mahal dan tarif angkutan umumnya lebih murah dari ERP, maka orang akan cenderung menggunakan angkutan umum di kawasan ERP.
Yayat menambahkan kebijakan ERP diprediksi akan membuat biaya perjalanan bertambah kisaran 50-70 persen dengan tarif yang diusulkan oleh Pemprov DKI Jakarta kisaran Rp5.000-Rp19.000 setiap kali melintas.
Saat ini, biaya transportasi di Jakarta rata-rata sudah mencapai sekitar 30 persen, bahkan ada yang lebih bagi warga yang tinggal di daerah pinggiran Jakarta yang harus beberapa kali pindah moda transportasi umum.
Saat ini, Pemprov DKI sedang mengkaji kembali regulasi yang salah satunya mengatur soal ERP.
Sebelumnya, pembahasan regulasi di DPRD DKI terhenti sementara karena mendapat penolakan dari masyarakat salah satunya komunitas ojek daring.
Ada pun berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI, rencana ERP diterapkan di 25 ruas jalan di Jakarta untuk mengurai kemacetan yakni Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Majapahit. Kemudian, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati mulai dari simpang Jalan Ketimun I sampai simpang Jalan TB Simatupang.
Selanjutnya di Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya, Jalan S. Parman mulai simpang Jalan Tomang Raya sampai Jalan Gatot Subroto.
Selain itu, Jalan Gatot Subroto, Jalan MT Haryono, Jalan Rasuna Said, Jalan DI Panjaitan, Jalan Jenderal Ahmad Yani mulai simpang Jalan Bekasi Timur Raya sampai simpang Jalan Perintis Kemerdekaan. Terakhir di Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Stasiun Senen dan Jalan Gunung Sahari
Baca juga: Dishub DKI kaji kembali Raperda tentang ERP
Baca juga: Pengamat nilai kebijakan jalan berbayar memberatkan masyarakat
Baca juga: Menelaah kebijakan ERP di Provinsi DKI Jakarta
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023