Sudah jelas dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa pemilu digelar secara berkala dalam lima tahun sekali. PN seolah tidak paham konstitusi
Jakarta (ANTARA) - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan KPU menghentikan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 dan memulainya dari awal melawan konstitusi.
"Sudah jelas dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa pemilu digelar secara berkala dalam lima tahun sekali. PN seolah tidak paham konstitusi," kata Neni dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Disamping itu, menurut Neni, putusan PN Jakpus juga bertentangan dengan Pasal 431 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Baca juga: Mahfud sebut putusan penundaan pemilu PN Jakpus sensasi berlebihan
Baca juga: Basarah: Putusan PN Jakpus agar pemilu ditunda bertentangan dengan UUD
"Frasa dalam UU Pemilu sudah sangat jelas, pemilu dapat dihentikan apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya," ucap dia.
Neni menambahkan sengketa partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi pada sub-tahapan penetapan peserta Pemilu 2024, semestinya diajukan oleh penggugat kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Baca juga: Ketua Komisi II DPR: Putusan PN Jakpus tunda pemilu lampaui kewenangan
Ia lalu mengingatkan agar KPU tidak terjebak dalam putusan PN Jakpus karena tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 harus tetap dilanjutkan.
"Saat ini, tahapan pemilu sudah memasuki pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih serta verifikasi faktual perseorangan calon DPD. Putusan PN Jakpus yang membawa malapetaka untuk demokrasi ke depan dengan melanggar konstitusi. Secara prosedur, KPU memang perlu melakukan banding," tutur Neni.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023