Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan bahwa banyaknya porsi makan yang diberikan orang tua kepada anak, tidak bisa menjamin bahwa asupan gizi seorang anak bisa terpenuhi dengan baik.
“Jadi kadang-kadang, ibu-ibu kasih makan anaknya asal kenyang. Nasi dua pentung, lauknya mi instan, minumnya kental manis, kemudian kerupuk, kuahnya kuah bakso,” kata Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam Konferensi Pers IDI di Jakarta, Kamis.
Piprim menyoroti porsi makan yang diberikan secara asal tersebut, justru membahayakan anak untuk terkena obesitas karena terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat dan gula, atau bahkan stunting karena kekurangan asupan gizi terutama protein hewaninya.
Hal tersebut berdampak buruk pada kesehatan anak, karena rendahnya asupan protein hewani yang berasal dari makanan seperti ikan, telur atau ati ayam, sehingga anak kekurangan zat asam amino.
Baca juga: Kurang gizi bisa jadi awal stunting hingga turunnya kecerdasan
Baca juga: Protein hewani penting hindarkan bayi dari stunting
Akibatnya, aktivasi dari regulator pertumbuhan anak atau yang dikenal dengan mTORC1 menjadi terganggu. Padahal, mTORC1 yang baik dapat menunjang pertumbuhan di anak yang akan membuat pertumbuhan lebih optimal baik untuk pertumbuhan otak, pertumbuhan tulang rawan, pertumbuhan otot maupun kerangkanya.
Oleh karenanya, Piprim meminta setiap orang tua untuk memperhatikan asupan protein hewani, juga pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) setelah anak berusia di atas enam bulan. Sebab di usia tersebut, stunting sangat rawan terjadi.
“ASI sangat penting untuk mencegah stunting tapi pasca ASI ketika enam bulan ke atas, setelah ASI kita juga harus menekankan pentingkan pemberian protein hewani. Utamakan protein hewani dulu, baru nanti sayurnya, ada tempenya, jangan sampai protein hewani terlupakan. Itu mTORC1-nya tidak hidup,” ujarnya.
Piprim menyarankan misalnya pada usia 6-8 bulan, orang tua setidaknya harus memasukkan satu butir telur dalam menu MPASI-nya. Kemudian untuk usia 8 bulan-1 tahun, orang tua bisa memberikan dua butir telur yang disertai dengan ati ayam.
“Protein hewani dari makanan lokal sangat murah. Telur, ikan, unggas, itu bisa kita pelihara sendiri Kalau daging merah mahal, tapi ati ayam murah, di tukang bubur saja Rp2 ribu (satu tusuk bisa) dapat. Tidak ada alasan protein itu mahal, tidak. Itu murah hanya orang tidak tahu,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Piprim menegaskan stunting sudah bisa terjadi sebelum anak berada dalam kandungan. Sehingga asupan gizi setiap anak, sudah harus dipantau utamanya ketika masa remajanya. Jika sedari remaja sudah bermasalah, maka terdapat kemungkinan janin yang nantinya dikandung akan berisiko stunting.
Meski demikian, stunting sebenarnya bisa mendapatkan tata laksana dari para dokter anak, sehingga kondisinya bisa diupayakan untuk dikoreksi mendekati tumbuh kembangnya yang optimal.
Maka dari itu, Piprim mengimbau orang tua untuk memperhatikan setiap jumlah dan jenis makanan yang diberikan pada anak, serta ketika pengukuran tumbuh kembang anak tidak bertambah setelah diukur setidaknya dua kali, maka perlu segera berkonsultasi dengan dokter anak di fasilitas kesehatan terdekat.
“Untuk masalah stunting yang paling penting adalah protein hewani, sebagai pencegahan. Nanti kalau sudah stunting, mohon dirujuk ke dokter anak karena kita sudah latih dokter-dokter anak kita untuk mengatasi masalah stunting,” ujarnya.
Baca juga: IDAI: Waspadai kecacingan penyebab stunting pada anak
Baca juga: IDI dan tujuh organisasi profesi deklarasikan komitmen cegah stunting
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023