Jakarta (ANTARA) - Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan menilai tidak ada pekerjaan yang aman dari ancaman teknologi kecerdasan buat (AI), namun hal itu bukan berarti AI bisa menggantikan peran manusia sepenuhnya.
"Kata yang tepat untuk keadaan ini, tidak ada satu pun pekerjaan yang aman dari terkaman AI," kata Firman kepada ANTARA, Kamis.
Firman menuturkan, teknologi kecerdasan buatan saat ini kian perkasa. Terbaru, layanan chatbot besutan OpenAI bernama ChatGPT sukses menjadi sorotan lantaran bisa melakukan berbagai pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia.
Mulai dari membuat puisi, menyusun pidato, menulis, hingga menjelaskan sebuah operasi matematika. Keperkasaan baru ChatGPT dinilai telah menimbulkan kekhawatiran lantaran kemampuannya bisa menggantikan kerja manusia.
Bukan hanya kerja rutin, tetapi juga kerja yang membutuhkan emosi dan kreativitas, termasuk kerja-kerja yang baru hadir seiring maraknya teknologi digital.
Baca juga: AI membuat saya stres, kata Elon Musk
Baca juga: 61 negara teken seruan aksi penggunaan AI bertanggung jawab di militer
Namun, menurut Firman, teknologi AI tidak mungkin akan sepenuhnya sempurna. Kualitas AI tidak mungkin lepas dari peran manusia.
Dia lalu mencontohkan tentang sebuah chatbot buatan Microsoft bernama Tay. Tay menjelma menjadi mesin yang rasis dan kasar lantaran dalam proses mencapai fungsinya, data yang diumpankan mengandung hal-hal buruk tersebut.
Berkaca dari hal itu, dapat diartikan bahwa kesempurnaan AI bergantung pada kehendak manusia.
Firman percaya bahwa manusia memiliki kualitas yang berbeda dari mesin berbasis AI. Kemampuan AI dapat menyajikan hasil dengan cepat, akurat, dan selalu rasional, namun tidak pernah mempunyai intuisi, inisiasi, emosi, atau sensitivitas terhadap budaya.
AI juga tidak mampu membedakan konteks. Teknologi tersebut mengerjakan pekerjaannya dengan cara yang sama, apapun keadaan ruang dan waktunya.
Sebagai contoh, AI pada kamera pengawas pelanggaran lalu lintas elektronik atau e-tilang tidak akan mampu membedakan antara mobil yang menerobos jalur Transjakarta lantaran mengantar penumpang darurat atau pelanggar yang menghindari kemacetan. Keduanya sama-sama akan dibaca sebagai pelanggaran.
"Justru kemampuan macam itulah yang jadi milik manusia. Membuat manusia mampu melakukan pertimbangan yang kontekstual," kata dia.
Firman menambahkan bahwa AI berguna dalam organisasi yang bersifat rutin. AI tidak mengenal lelah. Dia akan tetap bekerja selama terus diumpan data. Keberadaannya dinilai sesuai untuk kerja dalam tugas-tugas tingkat rendah yang berulang, juga kerja yang telah tersistematisasi.
"Hal-hal macam ini kadang membuat manusia bosan melakukannya. Bahkan gagal menyelesaikannya. Jika demikian jelas perbedaannya, mengapa tidak memetakan peran saja, daripada terus khawatir," ujar dia.
Baca juga: Kecerdasan buatan belum jadi ancaman industri film
Baca juga: MTARGET luncurkan solusi email berbasis kecerdasan buatan
Baca juga: Putra BURGERKILL anggap AI bantu pekerja seni dan industri kreatif
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023