Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengangkat isu bahayanya pernikahan yang dilangsungkan pada usia anak (dini) dalam Pertemuan Anggota Parlemen Arab dan Asia bertajuk “Penanganan Pemberdayaan Remaja dan Kekerasan Berbasis Gender”.
“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak,” kata Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN, Rizal M. Damanik dalam pertemuan parlemen yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Sebagai tuan rumah dalam pertemuan para anggota parlemen internasional, Damanik menyatakan meski di Indonesia kasusnya terpantau mengalami penurunan, perkawinan anak masih terus terjadi di banyak negara di dunia.
Hal tersebut menyebabkan banyak anak kehilangan hak-hak dasarnya. Perkawinan dini menempatkan anak ke dalam posisi rentan yang tidak hanya bisa memberikan dampak secara fisik dan psikis, namun juga memperparah kesenjangan antar-keluarga, karena tingginya angka kemiskinan.
Baca juga: BKKBN: Dispensasi tak bisa dijadikan ukuran naiknya kasus kawin dini
Dampak lain adalah rendahnya kemampuan kognitif, karena anak dipaksa untuk putus sekolah. Sementara dari sisi perempuan, perkawinan anak memperlebar potensi terkena kanker serviks sejak usia muda. Sedangkan pada anak yang dilahirkan akan berpotensi terkena stunting.
Pada kesempatan itu, Damanik menyampaikan kondisi perkawinan anak di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di negara lain. Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag), terdapat 50.673 dispensasi perkawinan yang diputus pada 2022.
Pengajuan permohonan menikah pada usia anak, lebih banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu dan faktor dorongan dari orang tua yang menginginkan anak mereka segera menikah, karena sudah memiliki kekasih untuk menghindari zina.
Selain itu, juga disebabkan masih terikat oleh tradisi budaya dan pemikiran anak sebagai aset di saat jumlah penduduknya yang besar kian bertambah.
“Beberapa kajian memandang perlu diupayakan pencegahan oleh pemerintah untuk mengambil langkah, seperti meningkatkan kapasitas pengasuhan dan akses layanan, mengembangkan kemampuan anak, membuka dan menyetarakan akses dan memperkuat ikatan sosial keluarga,” katanya.
Oleh karenanya, BKKBN memandang tiap negara perlu menyusun kebijakan kesehatan fisik, termasuk yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan mental, dukungan pengasuhan, pencapaian pendidikan formal 12 tahun dan pemberdayaan untuk penghidupan.
Damanik juga memberikan best practice yang digagas Indonesia dalam menghadapi perkawinan anak, seperti turut andil dalam kebijakan terkait kesehatan reproduksi, khususnya remaja dan pengasuhan melalui kelompok kegiatan remaja yang dinamakan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja).
Termasuk yang berbasis pendidikan maupun masyarakat dan komunitas, serta kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR) bagi orang tua dan keluarga yang memiliki remaja.
Baca juga: Pakar: Kecelakaan sampai kawin dini penyebab kematian pemuda dunia
Baca juga: BKKBN: Tekan kawin dini agar stunting turun
“Suatu kehormatan bagi kami selaku pembina PIK Remaja, karena besok bapak ibu para tamu dari Arab-Asia Parliamentarian akan mengunjungi salah satu PIK Remaja di DKI Jakarta,” katanya.
Sebagai informasi, Pertemuan Parlemen Arab-Asia merupakan sebuah acara inter-regional untuk menindaklanjuti Komitmen ICPD25: Mengatasi Pemberdayaan Pemuda dan Kekerasan Berbasis Gender yang digelar pada tanggal 1 hingga 2 Maret 2023 di Jakarta.
Sekitar 25 anggota parlemen dari negara Arab dan Asia hadir secara luring maupun daring, dengan tujuan berdiskusi terkait setiap isu yang mempengaruhi pemuda dan kekerasan berbasis gender hingga advokasi kebijakan yang dibutuhkan di masa depan.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023