New York (ANTARA) - Bank-bank sentral harus tetap waspada terhadap potensi bahaya stagnasi sekuler dan inflasi yang rendah karena kenaikan harga yang didorong oleh faktor tekanan biaya tidak berlangsung lama, kata Deputi Gubernur Bank Sentral Jepang (BoJ) Masazumi Wakatabe pada Senin (27/2/2023).
Perekonomian Jepang berada dalam deflasi untuk waktu yang lama, tetapi pelonggaran moneter yang berkelanjutan "tentu saja memiliki efek positif" pada ekonomi riil, kata Wakatabe, membela kebijakan moneter BoJ yang berkepanjangan dan sangat longgar.
"Rezim inflasi ringan belum berakhir, dan kita harus mengatakan bahwa potensi bahaya stagnasi sekuler dan Japanifikasi belum berlalu," katanya dalam pidato yang disampaikan di Universitas Columbia di New York.
"Japanifikasi" adalah konsep yang digunakan di kalangan akademisi yang menunjukkan pengalaman Jepang dengan periode stagnasi yang panjang disertai deflasi atau inflasi rendah dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an.
Sementara inflasi baru-baru ini meningkat pesat di seluruh dunia, banyak faktor yang mendorong kenaikan harga didorong oleh biaya yang lebih tinggi seperti perang di Ukraina, kata Wakatabe.
"Ketika terjadi exogenous shock (kejutan dari faktor eksternal), ada penyesuaian dari sistem harga lama ke harga baru. Setelah penyesuaian, tingkat inflasi yang meningkat kemungkinan besar akan kembali ke tingkat inflasi kondisi mapan," katanya.
"Jadi poin pentingnya adalah bagaimana tingkat ini dipengaruhi. Tentu saja, mungkin faktor pendorong biaya akan tetap ada, tetapi apakah mereka akan mendorong tingkat inflasi kondisi mapan tidak pasti," kata Wakatabe, menambahkan bahwa "telah diketahui bahwa inflasi dorongan biaya tidak berlangsung lama.
Seorang mantan akademisi, Wakatabe dikenal sebagai pendukung pelonggaran moneter yang agresif. Masa jabatan lima tahunnya sebagai wakil gubernur BoJ berakhir pada Maret.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023