Jakarta (ANTARA) - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengatakan evaluasi sistem pemilu legislatif merupakan hal yang lazim dan penting untuk memperbaiki kekurangan yang kerap dijumpai saat pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan.
"Sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing," kata Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Kemenkumham Yunan Hilmy yang menyampaikan amanat Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Oleh karena itu, kata Hilmy, eksplorasi terhadap pilihan sistem pemilu tidak boleh hanya dilakukan pada perspektif praktis-pragmatis belaka, tetapi harus dilakukan guna penguatan demokrasi Pancasila.
Terlebih saat ini, kata dia, berkembang kembali diskursus mengenai sistem pemilihan legislatif seiring adanya gugatan terkait uji materi Undang-Undang Pemilu tentang penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2024.
Baca juga: Pakar sebut perubahan sistem pemilu seharusnya berlaku mulai 2029
Baca juga: Ahli hukum: Konsistensi pemilu proporsional terbuka harus dijaga
Senada dengan itu, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menyampaikan bahwa evaluasi terhadap sistem pemilu perlu dilakukan, namun harus secara menyeluruh.
"Evaluasi perlu dilakukan, bukan soal pemilu terbuka atau pemilu tertutup saja, namun harus secara menyeluruh," kata Titi.
Terkait permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai proporsional tertutup dan terbuka, Titi berharap MK dapat memutus dengan bijak, misalnya, pada putusan mengenai Pemilu Serentak.
"MK secara bijak memberikan rambu-rambu tidak hanya serentak saja tapi memberikan fleksibilitas," ujar dia.
Tak jauh berbeda dengan Titi maupun Kepala BPHN, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie mengatakan evaluasi sistem pemilu dibutuhkan, dan perlu untuk melembagakan sistem politik di Indonesia agar menghindari konflik kepentingan.
"Semua pejabat sekarang main medsos dan Twitter. Twit-nya itu sebagai pejabat atau pribadi? Campur aduk," ucap Jimly.
Baca juga: Wakil Ketua MPR nilai sistem proporsional tertutup batasi hak rakyat
Menurutnya, modernisasi peradaban harus memisahkan urusan privat dan urusan publik. Apabila tidak bisa memisahkan kedua hal tersebut, maka berpotensi terjadi korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
"Jadi gara-gara medsos ini, sedang berlangsung gejala umum institusionalisasi politik," kata eks Ketua MK tersebut.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023