BMKG bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) tengah memperdalam riset yang dilakukan di Universitas Cambridge, Inggris
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengemukakan ada sejumlah rekomendasi ahli untuk mencegah katastrofe serupa gempa Turki di Indonesia, berdasarkan hasil diskusi analisis pembelajaran gempa bumi Turki.
Dwikorita menegaskan yang paling utama pembelajaran dari gempa Turki itu adalah upaya mitigasi serta penguatan dari pengembangan riset kegempaan.
“Perlunya sistem mitigasi gempa bumi yaitu terkait dengan penguatan atau pengembangan studi kajian riset dan teknologi,” ujar Dwikorita dipantau daring di Jakarta, Jumat.
Saat ini, BMKG bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) tengah memperdalam riset yang dilakukan di Universitas Cambridge, Inggris. Adapun pengembangan riset lainnya yakni pengukuran melalui GPS yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kemudian, diperlukan penguatan sistem monitoring kegempaan secara kontinyu dan komprehensif. Hal ini sudah dilakukan BMKG, namun menurut Dwikorita harus lebih dikuatkan jaringan monitoring, dirapatkan sistem monitoringnya, dan peningkatan kecepatan proses, juga penguatan analisis.
Selanjutnya, diperlukan pemutakhiran atau pengembangan peta bahaya gempa bumi (seismic hazard map) dengan melihat kenyataan bahwa ternyata belum semua patahan-patahan yang dapat memicu gempa bumi terpetakan.
“Masih ada yang belum terpetakan, dan tentunya dengan perkembangan riset studi yang dilakukan ada informasi data-data baru. Sementara seismic hazard map atau peta bahaya kegempaan yang ada di Indonesia sejak 2017 sudah sepatutnya kita mutakhirkan atau dikembangkan di tingkat yang lebih detil,” ujar dia.
Berikutnya, penguatan sistem itu dengan kajian ground motion atau kajian getaran tanah. Dengan dibentuknya konsorsium nasional gempa bumi dan tsunami dari pakar berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Indonesia, maka diharapkan dapat memperdalam, menguatkan kajian agar operasionalnya bisa diterapkan oleh BMKG atau lembaga terkait lainnya.
Dan tak kalah pentingnya, katanya perlu seluruh kajian tersebut untuk building code, atau jika tidak berakhir sia-sia.
Dwikorita memaparkan penelitian dari pakar di Badan Geologi Amerika Serikat yang menyinggung gempa bumi Turki telah banyak kajiannya.
“Karena begini di Turki itu datanya lengkap, kajiannya alat-alatnya lengkap, monitoring lengkap, building code juga ada, tapi kenapa masih terjadi seperti itu?” kata Dwikorita.
Hasil diskusi tersebut sementara menyimpulkan bahwa adanya komunikasi yang tidak tersambung antara yang melakukan kajian dengan, atau yang melakukan pemetaan dengan yang menerapkan building code.
“Ini mungkin saja dapat terjadi di Indonesia. Makanya kita diingatkan agar terus saling bersinergi, jangan sampai hasil-hasil kajian oleh perguruan tinggi, lembaga terkait, dan BMKG sendiri jangan sampai lepas, atau tidak terkomunikasikan ke pihak yang menerapkan building code,” kata dia.
Oleh karena itu perlu direkomendasikan adanya law enforcement atau penegakan hukum dalam penerapan building code, dan peraturan pendukung sistem mitigasi bencana.
Kemudian penguatan edukasi literasi aplikasi secara inklusif, dan pengetahuan ditujukan untuk semua umat. Hal ini dapat dilakukan di masjid, gereja, sekolah dan melalui berbagai kegiatan informal dan formal. Inklusif juga untuk seluruh dengan tidak memandang gender, termasuk pihak berkebutuhan khusus harus mendapatkan edukasi tersebut, kata Dwikorita.
Baca juga: Menko PMK: Bantuan untuk Turki operasi kemanusiaan terbesar Indonesia
Baca juga: RI lanjutkan bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Turki
Baca juga: Delegasi RI kunjungi pusat operasi Inasar di Turki
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023