Jakarta (ANTARA) - Dunia kuliner seakan tidak akan pernah habis untuk dibahas. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang terus bertambah sehingga kebutuhan pangan juga semakin meningkat.
Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat pun disuguhi berbagai macam jenis makanan yang terus berkembang sesuai zaman.
Salah satu tren dalam dunia kuliner saat ini adalah "fusion food", yakni konsep penggabungan bahan atau cara masak dengan lebih dari satu budaya.
Tren fusion food sangat digemari karena selain mengkreasikan bahan dan bumbu, tetapi juga disajikan dengan tampilan yang menarik pada setiap hidangannya.
Di Amerika, masyarakatnya menyukai pengalaman baru menikmati hidangan yang inovatif antara sajian klasik Amerika dengan masakan dari Asia.
Misalnya Korean Kimchi BBQ Burgers, yang disukai karena paduan rasa manis khas saus BBQ Korea dan kimchi pedas dengan burger daging dan kentang goreng.
Selanjutnya, ada Roti Mochi Pisang, Thai Spring Pea Soup alias sup kental nan lembut dengan sedikit rasa dari serai segar dan kari kuning, hingga Buffalo Peanut Inside-Out Sushi yang memadukan cita rasa Jepang dan Amerika yakni sayuran segar dan kacang dibungkus dengan nasi berbumbu lalu disiram dengan saus krim yang terbuat dari biji bunga matahari.
Demikian juga di Korea Selatan, tren fusion food sangat disukai kalangan millenial. Salah satunya yaitu Konchijeu alias Korean corn cheese berbahan utama berupa jagung dan keju.
Lainnya, ada Yeoptteok Together. Makanan ini adalah campuran dari tteokbokki, yaitu kue beras pedas khas Korea Selatan yang dicampur dengan es krim vanilla.
Sedangkan untuk minuman, ada Chicken Mu Saida atau Chicken Radish Ade, yaitu merupakan gabungan antara acar lobak Korea dengan air soda.
Di Indonesia sendiri fusion food yang populer di antaranya Kebab Nasi Padang, Burger Rendang, Pizza Rendang, Rendang Spring Rolls, hingga Steik Tempe.
Selain itu, ada makanan fusion yang menggabungkan antara dua masakan tradisional misalnya Soto Rawon dan Sate Buntel Bumbu Maranggi.
Sisi kesehatan
Di satu sisi, sajian kuliner yang kekinian tersebut telah membantu eksistensi masakan tradisional di masyarakat, khususnya generasi milenial dan Gen Z.
Namun demikian, masyarakat juga perlu memperhatikan kandungan gizi dan nutrisinya agar terhindar dari berbagai macam penyakit.
Dokter ilmu gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr. dr. Luciana B. Sutanto, MS, Sp. GK mengatakan bahwa masyarakat dapat mengkonsumsi makanan dengan tetap menerapkan pola makan gizi seimbang, yaitu terdiri dari makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, lauk pauk sebagai sumber protein hewani dan nabati, serta sayuran dan buah.
Selain komposisi makanan, juga perlu diperhitungkan jumlah makanan yang dikonsumsi agar tidak kekurangan atau kelebihan.
"Oleh karena itu, harus diperhitungkan dengan baik saat memesan makanan saat berkuliner," katanya.
Ia mengatakan, jenis makanan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, khususnya status nutrisi penduduk Indonesia yang sering dijumpai yaitu masalah status nutrisi kurus dan berat badan lebih (obesitas).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar yang dirilis Kementerian Kesehatan pada tahun 2019, jumlah penduduk Indonesia dengan status nutrisi kurang mencapai 9,3 persen dan obesitas mencapai 46,4 persen.
Oleh karena itu, yang tidak kalah penting dalam menikmati berbagai hidangan fusion food adalah pengetahuan mengenai nutrisi termasuk pemilihan jenis makanan dan jumlah yang dikonsumsi.
Luciana setuju bahwa kuliner tradisional selaras dengan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Kuliner tradisional tentu didukung oleh ketersediaan bahan makanan di daerah tersebut dan sesuai dengan kebiasaan masyarakat.
"Penyajian maupun kreasi makanan berdasarkan kearifan lokal dapat membantu upaya meningkatkan kesehatan masyarakat karena lebih sesuai dengan budaya dan lingkungan masyarakat terutama di daerah tersebut," ujarnya.
Senada dengan hal tersebut, dokter dan ahli gizi masyarakat, DR. dr. Tan Shot Yen, M.Hum mengimbau masyakarat agar selektif dalam mengonsumsi fusion food, terutama soal kandungan nutrisi dalam makanan itu.
"Biasakan memilih masakan yang diolah tradisional tanpa produk kemasan seperti saos, aneka kecap, dan lainnya. Bumbu dapur dan rempah sudah cukup," kata Tan, yang mendapatkan gelar Doktor Ahli Gizi Komunitas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Pemilihan bahan persiapan, produksi dan penyajian fusion food perlu mempertimbangkan nutrisi, misalnya makanan yang menggunakan bahan makanan ultra proses tentu memiliki kandungan nutrisi berbeda dibandingkan dengan yang menggunakan bahan alami.
"Makan ubi kukus atau singkong rebus dicocol sambal ikan roa masih lebih logis ketimbang brownies ubi ungu bersalut krim keju olahan," kata Tan.
Fusion food sebaiknya tetap mementingkan aspek asal usul dan sejarah bahan pangan yang dikonsumsi dan penyediaan bahan pangan secara berkelanjutan agar tidak menyebabkan penyakit.
Tan kembali mengingatkan masyarakat soal "Isi Piringku", kampanye untuk mengonsumsi makanan dengan nutrisi yang seimbang. Dalam satu porsi piring makan, seseorang bisa mengisinya dengan 50 persen sayur dan buah dan 50 persen lainnya untuk karbohidrat dan protein.
Kampanye "Isi Piringku" juga menekankan pada pembatasan gula, garam, dan lemak dalam konsumsi sehari-hari.
Edukasi masyarakat
Penting bagi masyarakat untuk diedukasi dan dididik, sehingga lebih peduli pada apa yang dikonsumsi sehari-hari. Teknologi pangan dan kreasi makanan yang semakin modern, perlu diimbangi dengan pengetahuan tentang aspek kesehatan.
"Kita perlu mengedukasi masyarakat lebih baik lagi di area nutrisi. Dengan berbagai kemajuan teknologi pangan, ilmu gastronomi, perlu adanya ilmu yang cukup pada masyarakat sehingga memilih makanan dengan bijaksana," kata praktisi kesehatan publik, Willy Yonas.
Willy mengungkapkan, yang perlu diperhatikan adalah bukan hanya rasa enak saja, tetapi perhatikan dari sisi kesehatan.
Perlu ada informasi terkait nilai gizi hingga kalori dari makanan-makanan fusion food, sehingga masyarakat akan bisa terinformasi dan memilih makanan dengan bijaksana.
Masyarakat diharapkan untuk meningkatkan asupan sayur, buah dan kacang-kacangan lebih gencar lagi apabila tidak ingin terserang penyakit kronis, seperti stroke, jantung, hipertensi, diabetes dan yang lainnya.
"Banyak kreasi makanan yang tinggi lemak, gula dan garam. Memang ini yang disukai kebanyakan orang. Bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi yang semakin maju, namun digunakan untuk kebaikan dan kesehatan masyarakat," ujar Founder Sehat Seutuhnya tersebut.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023