Jakarta (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa hukum Islam telah menyatu di dalam perilaku masyarakat sehari-hari, dimana salah satu pilar pentingnya dibuktikan melalui kehadiran fatwa keagamaan.
“Salah satu pilar penting dalam menjaga tetap hidupnya norma hukum islam dalam masyarakat adalah dengan fatwa dan keagamaan. Fatwa dan juga aturan fikih dijadikan pedoman serta kaidah dan menjelma menjadi hukum yang hidup atau living law,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh dalam Pengukuhan Guru Besar dan Orasi Ilmiah dirinya di Jakarta, Rabu.
Ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Fikih pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu (22/2), Asrorun menyampaikan pemikirannya melalui orasi ilmiah berjudul Living Fatwa: Transformasi Fatwa dalam Perilaku dan Kebijakan Publik di Era Milenial.
Merujuk pada pernyataan Prof Mahfud MD, living law mempunyai dua arti. Pertama, norma yang hidup karena keberlakuanya oleh masyarakat meski tidak diberlakukan secara resmi oleh negara. Kedua, hukum resmi yang bersifat dinamis dan kenyal atau supel, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman dan selalu aktual dalam keadaan apapun.
Baca juga: Asrorun Ni'am dikukuhkan jadi Guru Besar Fikih UIN Jakarta
Baca juga: Asrorun Niam Sholeh jadi Profesor Ilmu Fikih UIN Jakarta
Asrorun menyatakan memilih untuk mengikuti arti pertama. Guna menjaga fatwa terus hidup, dibutuhkan siasat fatwa. Di dalam perspektif pemikiran politik hukum islam ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara, pertama paradigma integralistik yang memahami bahwa agama dan negara menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan.
Kedua adalah paradigma sektoralistik, memahami pemisahan antara agama dan negara dan ketiga adalah paradigma simbiotik yang memahami bahwa agama dan negara berhubungan bersifat timbal balik dan saling membutuhkan.
“Dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, kita memilih konsensus untuk memilih paradigma yang ketiga. Hal ini nampak pada dasar negara dan konstitusi kita yang menempatkan bahwa negara berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa,” ujarnya.
Hal itu terlihat juga di dalam penyusunan perundang-undangan dan kebijakan publik. Simbiotik islam dan negara bahkan telah menimbulkan empat polarisasi yakni Ta’yidy yang menguatkan kebijakan negara yang diambil untuk kemaslahatan publik.
Kemudian ada Islahy yang menguatkan substansi kebijakan publik, dengan memberikan koreksi serta perbaikan pada normanya agar sejalan dengan ketentuan hukum islam. Ketiga ada Tashhihy yang berarti mengkoreksi, membenarkan dan/atau memberikan sandingan norma atas kebijakan publik yang tidak sejalan dengan hukum islam.
Keempat ada Insya-y yang membahas terkait memulai dengan menetapkan fatwa terhadap masalah baru, yang penting untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat dan dibutuhkan sebagai sandaran dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan publik.
“Pendekatan simbiotik (yang digunakan dalam siasat fatwa), meniscayakan harmoni antara fatwa keagamaan dengan kebijakan negara. Masing-masing memiliki wilayahnya, wilayah substansi agama menjadi ranah lembaga agama yang punya kewenangan. Sementara negara bertugas mengadministrasi urusan agama agar dapat dilaksanakan secara baik serta dapat terwujud kemaslahatan dan ketertiban,” ujarnya.*
Baca juga: Asrorun Niam pandang sosok Ichwan Sam sebagai administrator ulung
Baca juga: Asrorun Niam hormati keputusan Miftachul Akhyar mundur dari Ketum MUI
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023