"Toleransi dalam kehidupan beragama tidak boleh hanya bersifat retorika yang hanya terlihat baik-baik saja di permukaan, namun rapuh dalam landasan fundamentalnya," kata Bamsoet sapaan karib Bambang Soesatyo di Jakarta, Rabu
Dia menuturkan Bangsa Indonesia patut bangga karena merujuk pada hasil jajak pendapat Kompas pada November 2022, bahwa mayoritas responden atau sekitar 72,6 persen berpandangan bahwa masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi. Bahkan 10,4 persen di antaranya menyatakan masyarakat Indonesia "sangat toleran".
Namun di sisi lain, hasil jajak pendapat tersebut juga mengisyaratkan bahwa khusus mengenai isu toleransi beragama, sekitar 47,6 persen responden mengungkapkan masih perlunya penguatan sikap tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan beragama.
Baca juga: Dubes Zuhairi promosikan toleransi beragama Indonesia di TV Tunisia
Baca juga: Tokoh lintas agama serukan implementasi Dokumen Abu Dhabi
"Setidaknya tercatat ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan 50 gangguan yang dilakukan terhadap tempat ibadah," kata Bamsoet saat mengisi Sekolah Toleransi, kerja sama Himpunan Mahasiswa Program Studi Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah dengan BEM Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Bali.
Dia menjelaskan gambaran tersebut menunjukkan bahwa nilai toleransi, khususnya toleransi dalam kehidupan beragama, belum sepenuhnya mencerminkan gambaran ideal sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi antara lain pada pasal 28 E ayat 1 bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Pasal 28 I ayat 1 bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Serta pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
"Dalam konteks kehidupan beragama, belum optimal-nya implementasi nilai-nilai toleransi mengisyaratkan perlunya kita mawas diri, serta mengubah paradigma dalam memaknai toleransi," ujarnya.
Dia menjelaskan dalam konteks kehidupan berdemokrasi, sikap toleransi pada ranah politik pun masih menyisakan beragam persoalan yang cukup menyita perhatian publik.
Hal itu tercermin dari hasil Survei Litbang KOMPAS, yang mengindikasikan bahwa sekitar 77,8 persen responden merasa pesimis dan khawatir tergerus-nya nilai-nilai toleransi pada Pemilu 2024.
Potensi intoleransi itu lanjut dia ditengarai dipicu oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya kedewasaan politik masyarakat, kurangnya keteladanan tokoh politik dalam kontestasi politik secara sehat, penggunaan politik identitas, imbas atau residu dari Pemilu 2019 yang belum sepenuhnya tuntas, dan maraknya buzzer politik.
"Semua faktor tersebut dikhawatirkan menjadi pemicu terpinggirkan-nya sikap toleran dalam kontestasi politik, dan turut memanaskan suhu politik," tutur Bamsoet.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023