Jakarta (ANTARA) - Sudah menjadi kebiasaan Karsini, setiap pagi membersihkan sampah di salah satu rumah indekos di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Penjaga rumah indekos itu mengamati, tak kurang dari 24 jam tong sampah berukuran besar yang ditempatkan di salah satu pojok indekos sudah penuh sampah yang dihasilkan penghuni indekos berlantai tiga itu.
Sampah menumpuk begitu saja tanpa ada pemilahan. Ada sampah kertas, bahan plastik, sisa makanan, hingga pakaian bekas.
Setiap pagi, tukang sampah biasanya mengumpulkan sampah dari indekos yang memiliki sekitar 60 kamar itu.
Begitulah potret kecil pengelolaan sampah sebagian besar rumah tangga di kota-kota besar, termasuk di Jakarta.
Deputi Gubernur DKI Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Marullah Matali mengungkapkan setiap hari sampah di Ibu Kota dikumpulkan mencapai sekitar 7.500 ton pada 2022.
Dengan jumlah itu, diperkirakan satu orang penduduk di Jakarta menghasilkan sampah hingga 0,7 kilogram dari total penduduk DKI mencapai sekitar 11 juta jiwa. Sebanyak 50 persen di antaranya atau sekitar 3.750 ton sampah adalah sisa makanan.
Ribuan ton sampah itu setiap harinya dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat, menggunakan 1.200 truk sampah.
TPST Bantargebang
TPST Bantargebang dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta yang mulai beroperasi sejak 1989 pada lahan seluas 104,7 hektare.
Dari tahun ke tahun tumpukan sampah terus bertambah dan kini membentuk gunung setinggi sekitar 50 meter.
Apabila dibiarkan, kondisi itu akan menambah sesak dan berpotensi menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.
Untuk itu, Pemprov DKI membangun tempat pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif, yakni batu bara muda (refuse derived fuel/RDF). Selain itu, tumpukan sampah kemudian digali pada zona penggalian (landfill mining).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto menjelaskan pembangunan fasilitas pengolahan sampah itu dilakukan sejak 17 Februari 2022 dengan metode konstruksi rancang bangun dan saat ini memasuki uji coba, sebelum beroperasi penuh pada Maret 2023.
Fasilitas tersebut dibangun di atas lahan seluas 7,5 hektare di dalam kawasan TPST Bantargebang.
Pembangunan fasilitas itu menelan anggaran sekitar Rp1 triliun yang menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp456,3 miliar dan sebesar Rp613,9 miliar dari APBD DKI tahun 2022.
Produksi RDF
Produksi RDF di TPST Bantargebang bukanlah yang pertama di Tanah Air. Produksi RDF pertama di Indonesia, salah satunya dilaksanakan di TPST Jeruklegi, Cilacap, Jawa Tengah.
Namun dari sisi kapasitas, pengolahan sampah menjadi RDF di Bantargebang lebih besar, mencapai sekitar 2.000 ton per hari, sedangkan di Cilacap hanya 140 ton per hari.
Dinas Lingkungan Hidup DKI mencatat luas zona galian sampah untuk diolah menjadi RDF di TPST Bantargebang mencapai 81,4 hektare.
Ada pun ketinggian zona penggalian bervariasi, mulai 10-20 meter untuk zona penggalian sampah lama atau tidak aktif, dan ketinggian 50-60 meter untuk zona penggalian sampah aktif.
Sampah digali pada zona yang sudah tidak aktif atau sampah lama lebih dari tujuh tahun, dengan asumsi sampah sudah organik, sudah terdekomposisi secara alami menjadi humus atau kompos. Sampah lama itu digali pada zona empat, zona enam, zona 1C, dan zona tiga.
Berdasarkan hasil pengukuran topografi, diperkirakan volume sampah yang ada di zona penggalian aktif lebih dari 26,5 juta meter kubik atau sekitar 12,8 juta ton dengan kepadatan sampah mencapai 0,49 ton.
Di fasilitas tersebut, sampah lama diolah pada hanggar seluas 9.000 meter persegi dan sampah baru pada hanggar seluas 6.200 meter persegi.
Setiap hari fasilitas pengolahan sampah itu memproduksi sekitar 1.000 ton sampah lama dan 1.000 ton sampah baru.
Ada pun waktu operasional mencapai 15 jam per hari dengan kapasitas pengolahan masing-masing sampah lama dan baru mencapai 66 ton per jam, sehingga sekitar 2.000 ton sampah akan diolah menjadi sekitar 700-750 ton RDF atau bahan bakar alternatif, yakni batu bara “hijau”, yang ramah lingkungan.
Kualitas RDF
Proses pengolahan sampah menjadi RDF terdiri dari sejumlah tahapan, yakni penyaringan, pemilahan, pencacahan, dan pengeringan. Setiap proses itu menggunakan tenaga mesin, yang teknologinya berasal dari Korea Selatan.
Tahapan pengolahan sampah itu, di antaranya sampah lama yang digali kemudian dipilah dari segi ukuran. Ukuran besar akan dipilah menggunakan mesin khusus berdasarkan ukuran atau trommel screen.
Ada juga sampah yang dipilah menggunakan mesin pemilah berbahan logam besi dan mesin pemilah berbahan logam selain besi.
Tak hanya itu, ada juga sampah yang dipilah berdasarkan berat sampah dan dicacah menggunakan mesin pencacah sampah, dan sampah itu dikeringkan secara mekanis.
Untuk sampah baru prosesnya hampir sama, namun ada tambahan pemilahan secara manual.
Kualitas RDF yang dihasilkan diharapkan memenuhi kualifikasi teknis untuk industri semen, di antaranya nilai kalor (panas) minimum 3.000 kKal per kilogram, kadar air kurang dari 20 persen dan ukuran kurang dari 50 milimeter.
Produksi RDF dari TPST Bantargebang itu akan diserap dua perusahaan semen, yakni Indocement rencananya sebesar 550 ton dan Solusi Bangun Lestari sebanyak 150 ton RDF per hari.
Serapan oleh industri tersebut diharapkan dilakukan berkelanjutan, sehingga, selain memberikan nilai ekonomi juga menjadi solusi ramah lingkungan.
DLH DKI memperkirakan dengan volume sampah lama yang ada mencapai 25,5 juta meter kubik dan kapasitas pengolahan sampah yang digali mencapai 1.000 ton per hari, maka secara matematis sampah lama dapat habis digali setelah lebih dari 39 tahun.
Syaratnya, tidak ada lagi penambahan sampah selama masa operasional fasilitas selama 330 hari per tahun.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023