program ini banyak melibatkan kebijakan
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Transportasi Perkotaan Budi Yulianto meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk menyerap lebih luas masukan publik soal rencana jalan berbayar elektronik (Electronic Road Pricing/ERP) untuk memastikan kebijakan itu dapat mengurai kemacetan di Jakarta.
"Pemprov DKI Jakarta harus benar-benar membuktikan program ini akan berhasil dan bisa menciptakan integrasi transportasi strategis yang dapat mengatasi kemacetan," kata Budi di Jakarta, Selasa.
Ketua Forum Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu menambahkan masukan diperlukan mengingat publik masih banyak yang beranggapan ERP memaksa masyarakat untuk membayar dan tidak ada pilihan lain ketika hendak melalui ruas jalan tertentu.
Apalagi, imbuh dia, dengan fasilitas transportasi yang aman dan nyaman secara ekonomi sebagai kompensasinya belum tersedia.
Begitu juga ketika masyarakat memilih menggunakan kendaraan umum berupa taksi daring dan ojek daring, namun tetap terkena ERP, tentu juga akan memberatkan, lanjut dia.
"Ini harus dipahami Pemprov DKI Jakarta karena program ini banyak melibatkan kebijakan," ucapnya.
Dia mengungkapkan kegagalan dan keberhasilan ERP yang terjadi di sejumlah kota besar di dunia dapat menjadi bahan pertimbangan rencana kebijakan itu di Jakarta.
Ia mencontohkan penerapan ERP di Inggris, yang walaupun berhasil diterapkan di London, namun gagal diterapkan di kota-kota lainnya seperti Birmingham, Cardiff, dan Liverpool.
Selain London, kata dia, juga Singapura dan Stockholm di Swedia juga berhasil menerapkan ERP.
Namun, di sisi lain penolakan ERP terjadi di Hong Kong yang sejak 1983 memperkenalkan ERP namun hingga kini tidak kunjung dilaksanakan karena ramainya penolakan warga.
Paling terkini, lanjut dia, penolakan ERP juga terjadi di New York, Amerika Serikat saat pemerintah setempat mendapatkan persetujuan dari badan legislatif di kota itu.
Sementara itu, Pengamat Transportasi dari Universitas Trisakti Nirwono Joga sebelumnya mengusulkan Pemprov DKI Jakarta perlu mempertimbangkan segala bentuk kebijakan yang dapat lebih efektif dan lebih mudah diterima publik.
Salah satunya adalah pengenaan biaya parkir progresif untuk lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal.
Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat dengan transportasi publik.
"Sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas," katanya.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga mengeluarkan pernyataannya terkait pelaksanaan ERP.
Menurut LBH Jakarta dalam pernyataan resminya, ERP disebut sebagai sebuah solusi yang tidak berkeadilan, di tengah belum optimalnya sistem transportasi di Jakarta.
LBH Jakarta menyoroti tiga hal soal ERP yakni minimnya partisipasi publik, aksesibilitas transportasi yang buruk, dan dampak terhadap kelompok masyarakat ekonomi lemah.
Saat ini, rencana ERP di Jakarta sedang membahas regulasi antara Pemprov DKI dan DPRD DKI.
Namun, di tengah jalan pembahasan regulasi itu mendapat penolakan dari masyarakat di antaranya pengemudi ojek daring.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo menyebutkan pihaknya akan berkomunikasi dengan DPRD DKI untuk rancangan regulasi soal ERP dikaji kembali lebih komprehensif.
Baca juga: Bapemperda DKI sebut eksekutif berhak tarik Raperda ERP
Baca juga: Dishub DKI analisis pergerakan lalu lintas di lima ruas jalan
Baca juga: Dishub DKI kaji kembali Raperda tentang ERP
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2023