Jakarta (ANTARA) - Program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis minyak solar dari 30 persen (B30) menjadi 35 persen (B35) telah diterapkan pada 1 Februari 2023.

Program itu merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mengatasi krisis iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan, yaitu percepatan energi yang inklusif, bersih, berkelanjutan, dan mendorong investasi untuk mencapai "Net Zero Emission" (NZE).

Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung program itu, di antaranya kesiapan suplai di mana Badan Usaha (BU) BBN sejak Januari 2023 telah menyalurkan "Fatty Acid Methyl Ester" (FAME) dengan spesifikasi B35 ke seluruh titik serah.

Untuk kesiapan penyaluran, dari 21 BU BBM, 17 BU BBM menyatakan siap menyalurkan B35 pada 1 Februari 2023. Sementara 5 BU BBM masih akan menghabiskan stok B30.

Sementara itu, terkait dengan insentif pembayaran, dalam rapat Komite Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada 27 Desember 2022 telah ditetapkan besaran insentif untuk program mandatori biodiesel tahun 2023.

Sedangkan untuk mekanisme pengawasan program tersebut, juga telah dibentuk tim pengawasan yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait dan telah ditunjuk surveyor independen untuk melakukan verifikasi di lapangan dan akan didukung dengan aplikasi monitoring dan evaluasi (monev) secara daring "real time".

Selanjutnya, dari aspek teknis, juga telah dilakukan uji coba "filter block tendency" dengan hasil tidak ada kendala yang signifikan.

Pemerintah optimis program B35 dapat menuai respons positif seperti program pendahulunya, yaitu B30 dalam berbagai aspek indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemberlakuan program B35 juga diharapkan bisa mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan penghematan devisa dari pemanfaatan biodiesel di tahun 2022 sebesar 8,24 miliar dolar AS atau Rp122,65 triliun.

Sepanjang tahun 2022, realisasi penggunaan biodiesel mencapai 10,45 juta kiloliter (KL) atau lebih dari target yang ditetapkan sebelumnya, yakni sebesar 10,1 juta KL.

Sedangkan untuk program B35 pada 2023, target penyaluran biodiesel sebesar lebih dari 13,15 juta KL yang akan menghemat devisa sekitar USD10,75 miliar atau setara Rp161 triliun.

Selain itu, program B35 tersebut diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sekitar 1.653.974 orang serta pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 34,9 juta ton CO2e.

Lolos uji

Kementerian ESDM memastikan penerapan program B35 tersebut dipastikan telah memperhatikan seluruh aspek seperti daya kendaraan, mesin, material, pelumas, dan ruang bakar, termasuk emisi, dan hasilnya produk campuran B35 tersebut direkomendasikan untuk dapat digunakan.

Sejak diterapkan 1 Februari 2023, Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (BBPMGB) Lemigas Ditjen Migas Kementerian ESDM juga terus mengkaji secara komprehensif beberapa aspek seperti higroskopis, efek pelarutan, stabilitas oksidasi, dan potensi presipitasi dan menunjukkan B35 telah lolos uji kualitas mutu.

Kepala Lemigas, Ariana Soemanto, mengatakan penggunaan aditif untuk bahan bakar campuran B35 dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas bahan bakar tersebut, seperti aditif jenis "cold-flow improver" atau CFI yang digunakan untuk memperbaiki karakteristik bahan bakar B35.

Untuk menjaga stabilitas dan peningkatan kualitas mutu bahan bakar, pengujian biodiesel harus terus diterapkan menuju perbaikan mutu kualitas bahan bakar serta sistem penanganan dan penyimpanan bahan bakar. Laboratorium uji Lemigas juga siap mendukung melalui layanan pengujian kualitas mutu bahan bakar dalam program pemanfaatan biodiesel tersebut.

Menyikapi hal itu, PT Pertamina (Persero) juga berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan program B35 tersebut di mana Pertamina menerima 9,9 juta KL. Angka tersebut naik dari penerimaan program B30 sebesar 8,5 juta KL.

Pertamina telah mempersiapkan sebaik mungkin terkait penerimaan 9,9 juta KL B35 tersebut mulai dari mempersiapkan sarana penimbunannya, sarana penerimaan, serta sarana "blending" dan "quality control".

Saat ini, ada 112 terminal untuk distribusi biodiesel di seluruh Indonesia. Untuk mempermudah pendistribusian, Pertamina telah melakukan simplifikasi jumlah terminal. Dari total 112 terminal, 17 terminal biodieselnya akan dipasok oleh Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) dan sisanya Pertamina yang menyalurkan.

Aprobi pun mendukung implementasi B35 dengan terus meningkatkan produksi dengan memastikan ketersediaan bahan baku dan bahan penyangga yang memadai.

Kualitas biodiesel yang dapat diukur dari kandungan air dan stabilitas oksidasi juga akan terus ditingkatkan. Saat ini stabilitas oksidasi biodiesel yang diproduksi di Indonesia sudah membaik, yakni mencapai 11 jam dari sebelumnya 10 jam.

Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan, mengatakan bahwa sejak 17 tahun lalu, rata-rata dalam setahun sebanyak 17,5 juta KL biodiesel diproduksi sehingga diperkirakan masih akan cukup untuk mendukung implementasi program B35 yang akan menyerap 13,15 juta KL biodiesel pada 2023.

"Jadi artinya, kebutuhan B35 menyerap 75 persen dari kapasitas produksi dalam setahun, teorinya ini cukup untuk mendukung B35. Kapasitas ini selama 17 tahun yang perlu ditambah terus," kata dia.

Tantangan

Dirjen Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengemukakan masih ada sejumlah tantangan dalam pemberlakuan B35 tersebut, di antaranya belum diselesaikannya proses pencampuran B35 di wilayah Balikpapan, Kalimantan Timur. Proses pencampuran di wilayah tersebut masih dilakukan dari kapal ke kapal yang dikhawatirkan akan berdampak pada lingkungan.

Tantangan lainnya ialah mendorong adanya produsen biodiesel di wilayah Papua yang notabene juga terdapat perkebunan sawit. Jika di sana dibangun pabrik biodesel maka dari sisi logistik juga akan membantu pendistribusian B35 di wilayah timur Indonesia.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Eri Purnomohadi, menilai program B35 masih memerlukan dukungan pembiayaan dari pemerintah agar program ini bisa berjalan optimal untuk pengembangan, peningkatan kapasitas, modifikasi sistem dan infrastruktur.

Untuk itu, perlu bantuan dana pemerintah untuk keandalan sistem dan infrastrukturnya agar keberhasilan program B35 dapat tercapai sesuai target.

Pemberlakuan B35 diyakini bakal menyerap lebih banyak biodiesel sehingga mampu menghasilkan penghematan penggunaan BBM jenis solar yang bahan bakunya merupakan minyak bumi yang diimpor.

Ketersediaan fasilitas pencampuran (blending) dan penyimpanan biodiesel menjadi isu penting dalam program B35 tersebut. Fasilitas yang ada sekarang hanya cukup untuk menjalankan program B30.

Modifikasi terminal BBM di BUMN, yakni Pertamina sebagai badan usaha yang mencampur dan menyimpan biosolar perlu perhatian khusus, bahkan wajar menjadi bagian dari proyek strategis nasional.

Sedangkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memproyeksikan adanya kebutuhan insentif sekitar Rp30 triliun hingga Rp31 triliun untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada badan usaha yang menjual biodiesel, apabila harga biodiesel lebih tinggi dari harga solar.

Apabila harga indeks pasar (HIP) biodiesel lebih tinggi dari HIP solar, Pertamina yang menyerap biodiesel akan membeli dengan harga solar, sehingga BPDPKS akan membayar kepada badan usaha BBN kekurangan pembayaran Pertamina.

"Kami proyeksikan di 2023 dengan B35 yang terserap 13,15 juta KL, anggaran yang diperlukan sekitar Rp30 triliun sampai Rp31 triliun, yang telah diputuskan oleh Komite Pengarah dan BPDPKS," kata Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman.

Namun, jika terjadi sebaliknya seperti pada Juli hingga akhir 2022, BPDPKS justru tidak melakukan pembayaran kepada badan usaha BBN karena harga biodiesel lebih rendah dari harga solar.

Adapun pada 2021, BPDPKS membayar Rp51 triliun kepada badan usaha BBN untuk menutup selisih harga biodiesel dengan solar. Untuk 2023, BPDPKS memproyeksi harga biodiesel tidak akan berfluktuasi sehingga anggaran yang disiapkan menjadi lebih rendah dari 2021.

Upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bauran energi terbarukan di antaranya melalui implementasi B35, memang dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah serta berbagai pihak terkait, sehingga pelaksanaan program tersebut dapat berjalan mulus.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023