kini mampu mengantongi profit Rp50 juta per bulan.
Jakarta (ANTARA) - Berawal dari kegemarannya membuat kerajinan tangan yang berkaitan dengan kreativitas anak-anak, seorang perempuan asal Jakarta Utara mulai menekuni bisnis berjualan slime.

Perempuan itu bernama Pujianti, sosok yang memulai bisnis dengan memproduksi mainan untuk anak-anak yang berbahan dasar lem dan aktivator kimia.

Mainan dengan tekstur lembek, elastis, kenyal seperti jelly, serta dapat meregang saat ditarik ulur sehingga mampu dibentuk dengan beragam rupa, ditambah dengan tampilan warna yang menarik, itu menjadikan slime bukan sekadar mainan biasa.

Pasalnya, mainan sederhana yang dapat melatih gerakan motorik anak--karena dibutuhkan kekuatan saat menggenggam atau meremasnya--ini sempat booming beberapa tahun lalu. Bahkan ada sebutan tersendiri bagi para penggemar slime yang dikenal dengan slimers.

Awalnya, Pujianti memang tidak memproduksi slime, ia hanya menjual bahan-bahan membuat slime. Namun, seiring dengan perkembangan, ia pun menjajal berkreasi dengan produknya sendiri dan memajangnya di e-commerce.

Slime waktu itu lagi booming, tapi bahannya susah dicari dan kalau beli harus banyak. Dari situ mulai iseng jual di lokapasar,” ujarnya seraya menyebut nama market place itu.

Pujianti menceritakan usaha yang dirintis pada 2015 itu mulanya hanya bermodalkan Rp50.000 yang digunakannya untuk membeli sebotol lem premium berukuran setengah liter sebagai bahan baku slime.

“Karena ada kelebihan waktu itu, jadi saya coba-coba membuat slime,” paparnya.

Bak gayung bersambut, mainan dengan warna menarik buatan Pujianti rupanya mulai dibanjiri pesanan. Bahkan, salah seorang artis kenamaan Ibu Kota kerap kali membeli produk buatannya, salah satunya Nia Ramadhani hingga selebgram.

Hingga kini ia mampu memproduksi slime sebanyak 50 hingga 100 cup per hari, adapun slime yang dipasarkan dibanderol dengan harga rata-rata Rp20.000 untuk kemasan 100 mililiter dan Rp30.000 untuk kemasan 200 ml dengan produk terlaris adalah varian Galaxy  Masterpiece, dengan tampilan khas, bagaikan bertaburkan bintang-bintang.

Sementara, dalam proses produksi, rupanya Pujianti tetap turun tangan meracik sendiri slime yang dilabeli Clover Inside. Hal ini dilakukan  untuk menjaga kualitas produk. Baru pada tahap selanjutnya ia dibantu lima karyawan.

Beralih ke pemasaran, pada awal usaha ini berdiri, semuanya tidaklah mudah. Ia mengawali bisnis serbamandiri termasuk proses pemasaran yang melibatkan pengambilan gambar produk.

“Dulu, semuanya sendiri, ambil gambar juga sendiri,” ujarnya.

Namun kini, seiring perkembangan zaman serta banyaknya jasa yang menawarkan pemotretan produk, Pujianti pun mulai memanfaatkannya, bahkan dengan jasa produk ini, diakuinya biaya yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit serta mampu menghemat waktu.

Menceritakan dengan semringah, ia lantas mengungkit satu cerita nyeleneh yang dialaminya selama menekuni usaha slime, yaitu ada pembeli yang memesan desain slime dengan bentuk tertentu serta tidak ingin slime tersebut berubah bentuk.

“Ada customer yang mau stay bentuk slime, sedangkan slime itu kan moving, sedangkan itu nggak bisa karena memang teksturnya sendiri tidak bisa tetap,” paparnya sambil terkekeh.

Melewati lika-liku perjalanan yang tak mudah, ia mengakui kini mampu mengantongi cuan alias untung Rp50 juta per bulan.

Adapun slime buatan Pujianti yang diklaim menggunakan bahan yang premium serta tidak lengket, dapat ditemui di toko offline di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan ITC Makassar.

Sementara secara daring ia fokus menjualnya melalui lokapasar tertentu, meski juga membuka toko daring di platform aplikasi populer lainnya.

Tak ketinggalan, wanita berambut panjang ini juga memberikan kiat merawat slime agar lebih tahan lama, dengan menyimpannya pada suhu ruang AC sekitar 22-25 derajat celcius sehingga mampu tahan sekitar 6 bulan.

Sementara, apabila disimpan pada suhu di atas 27 derajat celcius, ketahanan slime akan lebih cepat rusak.

Ketika memainkan slime, anak-anak sebaiknya didampingi orang dewasa meskipun bahan yang digunakan food grade. Sebaiknya anak yang memainkan slime berusia 8 tahun ke atas.

Ingin terus berkembang, Pujianti rupanya acap kali mengikuti pelatihan-pelatihan dari pemerintah seperti Jakpreneur.

“Kami dapat pelatihan hak kekayaan intelektual (haki), kita lagi pelatihan (dari) Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk SNI,” imbuhnya.

Tak ketinggalan, ia turut bergabung dengan komunitas, di antaranya Komunitas Best Seller GoSend, komunitas UMKM Merry Riana, hingga Paxel.

Jalan memang tak selalu mulus dan lancar.  Seiring perkembangan waktu, ia mengakui menghadapi kendala dalam menjalankan bisnis ini. Salah satunya adalah menjaga kemampuan berpikir kreatif, berinovasi untuk mengembangkan produk-produknya agar tidak ketinggalan zaman serta secara paralel mampu menjaga kualitas produk.

Karena mainan anak terus berubah sehingga inovasi harus terus diciptakan, termasuk model dan produk baru, agar pesanan terus datang lagi (repeat order).

Selain itu diakuinya, harga slime miliknya kerap dibandingkan dengan produk serupa yang dibanderol Rp1.000, yang dijual di pinggiran jalan sehingga ada tugas lain untuk mengedukasi calon pembeli turut menjadi konsentrasinya.

Menutup perbincangan, Puji lantas membocorkan produk yang bakal diluncurkan dalam waktu dekat dengan mengusung kearifan lokal Indonesia, yakni slime berbentuk nasi padang.

Sementara itu, sebagai bentuk dukungan terhadap UMKM yang merupakan pondasi perekonomian negeri, pemerintah turut mencurahkan perhatian khusus.

Salah satunya adalah Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Himam.

Ia menjelaskan tahun ini pemerintah membuka banyak peluang bagi UMKM melalui konsumsi produk-produk UMKM.









 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023