"Upaya deteksi dini kesehatan ibu dan anak di pusat layanan kesehatan di tingkat wilayah terkecil seperti pos pelayanan terpadu (Posyandu) di RT/RW dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) harus benar-benar dijalankan secara proaktif untuk mencegah lahirnya bayi berisiko stunting," katanya dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dari 1,9 juta hingga 2 juta pasangan yang menikah per tahun, sebanyak 1,6 juta yang hamil di tahun pertama pernikahan melahirkan 300 ribu bayi berisiko stunting.
Baca juga: Dokter: MTBS ujung tombak pelayanan kesehatan anak di puskesmas
Baca juga: Banyak petugas kesehatan tidak pahami gejala awal masalah gizi balita
Temuan BKKBN tersebut, menurut Lestari sangat mengkhawatirkan di tengah upaya menekan pertumbuhan kasus stunting di Tanah Air. Meskipun, kata dia berdasarkan hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen di 2022.
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, upaya menekan angka kasus stunting lewat perbaikan asupan gizi ibu hamil, anak dan balita harus konsisten dilakukan.
Rerie juga mengatakan upaya untuk terus memantau kecukupan gizi ibu hamil, anak dan balita lewat upaya skrining rutin juga penting dilakukan.
Baca juga: Kemenkes perkuat layanan kesehatan ibu-anak di 6 RS vertikal
Rerie mendorong agar upaya deteksi dini kesehatan ibu hamil, anak dan balita bisa dilakukan serentak di seluruh tanah air dalam bentuk satu gerakan nasional, sehingga upaya untuk menekan jumlah kasus stunting signifikan.
Tentu saja, menurut dia gerakan nasional deteksi dini kesehatan dan kecukupan gizi ibu hamil, anak dan balita itu harus didukung para pemangku kepentingan di pusat dan daerah, sehingga gerakan tersebut juga mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat luas untuk menjalankan pola hidup sehat pada keseharian.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023