"Pelepasan saham ke Rajawali seharusnya bisa juga mempercepat penyelesaian arbitrase itu. Sudah cukup banyak dana dan energi yang terbuang karena kesalahan pemerintah yang ingkar janji terhadap Cemex," tegas Hadi.

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia (Kementerian BUMN) diminta lebih berhati-hati menyelesaikan masalah penjualan 25,53 persen saham Cemex SA di PT Semen Gresik Tbk. "Jika tidak hati-hati, bisa memperburuk citra Indonesia di mata investor luar negeri," kata Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Hadi Soesastro kepada ANTARA News di Jakarta, Kamis. Pernyataan itu diungkapkan Hadi menanggapi pro kontra penjualan 24,9 persen saham Cemex kepada Grup Rajawali yang telah mencapai kesepakatan pada 5 Mei 2006. Grup Rajawali telah mencapai kesepakatan dengan Cemex membeli saham tersebut senilai 337 juta dolar AS (setara Rp2,9 triliun) atau 2,28 dolar AS per lembar, atau sekitar Rp20 ribu per lembar. Meskipun Rajawali sudah menandatangani syarat perjanjian jual beli (conditional sale and purchase agreement/CSPA) dengan Cemex, namun transaksi final masih terganjal karena harus mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia. Dengan hak menawar terlebih dahulu (pre-emptive right) yang dimiliki pemerintah, negara dimungkinkan untuk membeli saham tersebut. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengisyaratkan, pemerintah tidak memiliki dana untuk membeli saham tersebut, karena kondisi APBN yang tidak memungkinkan. Menurut Hadi, pemerintah sudah terlambat jika ingin menggunakan haknya, karena telah ada "deal" antara Cemex dan Rajawali. "Kenapa baru sekarang. Jauh-jauh hari Cemex sudah mengumumkan mau menjual, saat ini pemerintah justru sibuk mencari pihak yang mau membeli. Tidak benar itu," kata Hadi. Selain pembelian oleh Rajawali, diketahui, dua wacana yang digulirkan Kementerian BUMN, pertama membeli melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimiliki Pemda Provinsi Sumatera Barat, dan Pemda Jawa Timur. Kedua, membeli melalui BUMN yang memiliki dana besar, yaitu dengan menempatkan dana yang dijadikan sebagai penempatan modal perusahaan di Gresik. Hadi mengkhawatirkan, jika pemerintah memaksakan untuk membeli melalui BUMN bisa menjadi "blunder". "Ini yang harus dicermati. Tidak elok kalau hal-hal seperti itu terulang kembali. Sedangkan jika melalui Pemda, sejauh mana daerah memiliki pendanaan," ujar Hadi. Ia juga menyoroti masalah "arbitrase" di pengadilan internasional antara pemerintah Indonesia dengan Cemex, yang belum selesai. "Pelepasan saham ke Rajawali seharusnya bisa juga mempercepat penyelesaian arbitrase itu. Sudah cukup banyak dana dan energi yang terbuang karena kesalahan pemerintah yang ingkar janji terhadap Cemex," tegas Hadi. Sementara itu, pengamat pasar modal Dandossi Matram menilai, saat ini merupakan waktu yang tepat mempercepat penyelesaian arbitrase itu yang menjadi keinginan pemerintah. Menanggapi masa hak jawab pemerintah kepada Cemex apakah membeli atau tidak, yang jatuh pada 18 Mei 2006, Meneg BUMN Sugiharto mengatakan, "belum ada jawaban".(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006