Banda Aceh (ANTARA) - Tim Peneliti Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) dari Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh menyerahkan hasil kajian hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai dasar penetapan kawasan ke depan.
"Hasil kajian hutan adat ini merupakan jawaban atas permintaan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) saat simposium nasional beberapa waktu lalu," kata Koordinator Tim Peneliti, Adli Abdullah dalam keterangannya di Banda Aceh, Rabu.
Hasil kajian tersebut diterima oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto diwakili Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat (PKTHA), Muhammad Said di Jakarta.
Baca juga: Aceh alami deforestasi 9.383 hektare hutan selama 2022
Baca juga: Kementerian LHK lakukan kajian pengelolaan hutan Aceh
Adli menyampaikan hasil penelitian tersebut, untuk menjawab perbedaan wilayah gampong (desa), mukim dan pawang hutan dalam pengelolaan kawasan adat, serta potensi konflik jika usulan penetapan hutan adat mukim ditetapkan.
Sementara itu, Ketua Tim Peneliti, Teuku Muttaqin Mansur menjelaskan Pemerintah RI dalam proses penetapan hutan adat Aceh, yakni di Mukim Paloh, Mukim Kunyet Kecamatan Padang Tiji, dan Mukim Beungga Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie sebelumnya masih ada keraguan dan kekhawatiran menimbulkan konflik.
Muttaqin mengatakan struktur pemerintahan gampong dan mukim di Aceh bukan lembaga baru, tetapi sudah ada sejak masa kerajaan Aceh. Namun, tahun 1974 dan 1979 masa Orde Baru lembaga mukim dihapuskan, dan yang terendah dalam pemerintahan hanya tingkat desa.
"Meski pernah dihapuskan, mukim sebagai masyarakat hukum adat itu masih ada dengan lahirnya Perda Aceh Nomor 5 Tahun 1996," katanya.
Dalam penguasaan wilayah hutan adat, kata Muttaqin, mukim memiliki wilayah sendiri, berada di atas lintasan gampong, pemanfaatan dan pengelolaannya dapat diberikan kepada masyarakat gampong dalam kawasan mukim.
Pada pengelolaan hutan adat yang menjadi keraguan Pemerintah RI, Muttaqin berpendapat bahwa sekalipun ada gampong tidak beririsan dengan hutan, asal dalam satu mukim tetap bisa memanfaatkan dan mengelola hutan adat, apalagi praktiknya sudah dilakukan secara turun temurun.
"Sehingga, kecil kemungkinan terjadi konflik antara gampong dan mukim di Aceh," ujar Muttaqin.
Baca juga: Majelis Adat Aceh luncurkan buku pengelolaan hutan
Baca juga: Pemangku kepentingan berkolaborasi tingkatkan konservasi hutan di Aceh
Dalam pertemuan itu, Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK Muhammad Said mengatakan hasil kajian dari tim peneliti USK tersebut lebih meyakinkan dan dapat menghilangkan keraguan Pemerintah RI terhadap proses penetapan hutan adat mukim di Aceh.
"Selama ini ada keraguan kami terhadap potensi konflik wilayah antara gampong dan mukim terkait usulan hutan adat mukim di Aceh, dari kajian ini kita berharap proses usulan hutan adat segera dilanjutkan kembali," kata Muhammad Said.
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023