Bogor, (ANTARA News) - Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar mengatakan, hilangnya keanekaragaman hayati akan menambah beban bagi kaum miskin dan menjadi halangan utama bagi upaya pengentasan kemiskinan seperti tercantum dalam Millenium Development Goals. "Oleh karena itu, program konservasi lingkungan perlu dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan untuk mendorong masyarakat menghargai anugerah alam tersebut," kata Witoelar dalam pencanangan ASEAN Environment Year (AEY) 2006 di Kebun Raya Bogor, Kamis. Pencanangan AEY 2006 bertema "Biodiversity: Our Life, Our Future" tersebut dihadiri oleh menteri lingkungan hidup dari 10 negara ASEAN serta China, Korea dan Jepang. Kekayaan hayati ASEAN saat ini mengalami degradasi yang amat pesat terutama karena ancaman perubahan landscape, polusi, kebakaran hutan, dan pemanfaatan yang berlebihan, sehingga praktek-praktek pembangunan yang tidak berkelanjutan dan kompetisi pengrusakan alam perlu segera dihentikan, katanya. Witoelar mengatakan, program-program konservasi keanekaragaman hayati dalam AEY 2006 akan mengacu pada kekayaan hayati di masing-masing negara yang dikaitkan dengan konteks kerjasama ASEAN. "Kita perlu meningkatkan kerjasama antar negara ASEAN untuk melaksanakan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkesinambungan. Dengan meningkatkan riset di bidang keanekaragaman hayati, akan terbuka lebih banyak peluang," kata Witoelar. Pendirian Pusat Keanekaragaman Hayati ASEAN di Filipina menurut Witoelar menjadi langkah awal untuk meningkatkan kerjasama antar negara anggota ASEAN untuk mencapai tujuan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. AEY dilaksanakan setiap tiga tahun sekali untuk mempromosikan kepedulian lingkungan pada setiap lapisan masyarakat, menyoroti prestasi-prestasi yang diraih ASEAN dalam bidang lingkungan, serta memperkuat kerjasama antar negara-negara ASEAN serta pihak swasta, masyarakat, dan LSM dalam mengatasi tantangan lingkungan di kawasan ini. Sementara itu, Deputy Sekjen ASEAN, Dr. Wilfrido Villacorta mengatakan, ASEAN yang menjadi tempat hidup bagi lebih dari 40 persen spesies laut dan darat dunia ini tengah menghadapi ancaman pesatnya laju degradasi keanekaragaman hayati. "Kita kehilangan keanekaragaman hayati dalam 50 tahun terakhir dengan laju (degradasi) lebih cepat, terutama karena konversi lahan dan habitat," kata Villacorta. Kerusakan tersebut seringkali tidak bisa diperbaharui dan bisa mengubah fungsi utama keanekaragaman hayati, katanya. Mengenai upaya konkret untuk mengatasi kejahatan lingkungan, termasuk kebakaran hutan dan pembalakan liar, Villacorta mengatakan, diperlukan keterlibatan masyarakat, pihak swasta, LSM disamping upaya yang melibatkan berbagai instansi pemerintah. Untuk setiap isu kejahatan lingkungan, kata Villacorta, ada kerangka yang digunakan misalnya untuk kebakaran hutan para staf senior menteri lingkungan hidup ASEAN telah sepakat untuk menghindari terulangnya kebakaran hutan. ASEAN juga meminta komitmen lebih tegas dari negara-negara anggota untuk mencegah terulangnya polusi lintas batas dalam bentuk asap kebakaran hutan. Pencanangan AEY 2006 yang bertepatan dengan hari jadi ke-189 Kebun Raya Bogor ditandai dengan penanaman 10 jenis pohon oleh masing-masing delegasi negara ASEAN. Sebelumnya pada tanggal 15-18 Mei diselenggarakan workshop ASEAN-China dalam manajemen kebun raya dan konservasi tanaman. ASEAN beranggotakan Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam. Saat ini dari 17 negara-negara "mega bio-diverse" di dunia, tiga diantaranya berlokasi di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia dan Filipina. Kurang lebih 27.000 spesies endemic dapat ditemukan di ASEAN. (*)

Copyright © ANTARA 2006