Makassar (ANTARA) - Ketika roda kemerdekaan mulai bergulir menuju abad ke-20, semboyan trilogi pembangun di era Presiden Soeharto menjadi hafalan wajib di lini pemerintahan hingga di bangku pendidikan sebagai bahan ujian sekolah. Trilogi pembangunan itu berisi tentang stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Poin ketiga dari trilogi pembangunan itu, hingga kini masih menjadi tantangan berat setelah dua poin lainnya sudah dapat terpenuhi secara berangsur-angsur. Makna pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya inilah untuk penjabarannya, ada yang harus dengan kalkulasi, namun ada juga yang tidak selamanya harus dengan hitungan matematis.
Salah satu di antaranya adalah sektor kesehatan yang secara umum semua sudah dapat merasakan layanan kesehatan, namun dari sisi kuantitas dan kualitas, di kota dengan di pelosok maupun pesisir masih memerlukan perhatian dan penanganan, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Mencermati kondisi tersebut, Kementerian Kesehatan mengundang Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan dan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar untuk membahas Academic Health System (AHS) dalam kaitannya menyiapkan kebutuhan tenaga dokter di seluruh wilayah KTI.
Dinas Kesehatan Sulsel mencatat AHS ini merupakan konsep yang mengintegrasikan pendidikan dan pelayanan kesehatan melalui kerja sama peningkatan layanan kesehatan. Konsep ini didorong untuk mengembangkan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif di layanan primer, sekunder, serta tersier.
Program AHS merupakan sebuah model kebijakan yang mengakomodir potensi masing-masing institusi ke dalam satu rangkaian visi yang berbasis pada kebutuhan.
Selain itu, AHS merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan kesehatan terintegrasi yang berkomitmen untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebagai gambaran, jika suatu daerah yang memiliki dokter dan meminta izin praktik dan izin sekolah (melanjutkan pendidikan spesialis), maka setelah selesai pendidikan, tenaga medis itu bertugas secara otomatis di tempat yang memberikan rekomendasi.
Sementara pemerintah kabupaten selaku pemberi rekomendasi harus menyiapkan insentif, sarana, dan sebagainya, sesuai kebutuhan lapangan.
Mengenai kondisi pemerataan tenaga kesehatan khususnya dokter dan dokter spesialis di Sulsel, diakui memang belum merata, karena masih kekurangan di sejumlah daerah terpencil dan pulau-pulau yang tersebar di 24 kabupaten/kota di provinsi yang memiliki jumlah penduduk sekitar 8,2 juta jiwa dan 314 pulau.
Sementara untuk perbandingan tenaga dokter dan jumlah penduduk, menurut BPJS Kesehatan adalah 1:5000. Artinya satu orang dokter menangani 5.000 orang penduduk.
Berdasarkan data Dinkes Sulsel diketahui, total dokter per fasilitas kesehatan (Faskes) tercatat 333 orang dokter laki-laki dan dokter perempuan 853 orang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Sedang yang berstatus non-PNS tercatat 209 dokter laki-laki dan 348 orang dokter perempuan. Apabila jumlah penduduk Sulsel sebanyak 8,2 juta jiwa dibagi dengan total dokter PNS, maka rasionya satu orang dokter untuk 7.070 orang penduduk (1: 7.070).
Sementara jika digabung dokter PNS dengan yang non-PNS, dengan totalnya sebanyak 1.743 orang, maka untuk rasio jumlah penduduk dengan jumlah dokter menjadi berkurang, yakni menjadi 4.704 atau satu dokter menangani 4.704. Jumlah beban dokter itu menjadi lebih sedikit dari standar BPJS Kesehatan yang menetapkan rasio perbandingan dokter dan penduduk 1:5.000.
Ini adalah potret perbandingan jumlah dokter dengan jumlah penduduk yang harus dilayani sewaktu-waktu. Potret kondisi tenaga medis di Provinsi Sulsel dengan ibukotanya Makassar yang menjadi hub untuk daerah di KTI. Bisa dibayangkan, kondisi daerah di KTI yang jauh lebih minim fasilitas dan tenaga medisnya dari pada di Sulsel.
Upayakan pemerataan
Setelah melihat potret kondisi Sulsel, kini ke Kota Makassar selaku Ibu Kota Provinsi Sulsel, yang kini dinakhodai oleh Wali Kota H Ramdhan Pomanto.
Kota Makassar dengan 15 kecamatan dan 11 pulau ditambah satu pulau di tengah kota, di wilayah pesisirnya baru memiliki satu fasilitas kesehatan. Belum lagi menyebut tenaga medisnya, tentu akan saling terkait.
Kendati demikian, Wali Kota Makassar Ramdhan yang akrab disapa Dhanny ini optimistis dapat mewujudkan tiga fasilitas kesehatan (faskes) di tiga pulau dari 11 pulau yang ada di wilayah kota itu.
Hanya ada satu puskesmas di Pulau kodingareng, dan nantinya akan ditambah lagi di dua pulau lain, yakni Pulau Barrang Caddi dan Pulau Barrang Lompo.
Hanya saja, untuk menambah faskes di dua pulau lainnya harus ada pemekaran kelurahan terlebih dahulu, sehingga paling tidak ada tiga pulau yang merangkul pulau-pulau di sekitarnya dalam pemberian layanan faskes.
Mengenai pemerataan dokter spesialis, saat ini Makassar menerima banyak permintaan ke daerah lain. Permintaan tersebut tidak serta merta dapat dipenuhi, karena ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya harus ada sarana rumah sakit.
Kalau dokter spesialis di Makassar sekarang banyak permintaan di RS Daya, yang nantinya akan disebar untuk memenuhi wilayah yang kekurangan tenaga medis, baik dokter maupun dokter spesialis.
Salah satu contoh, untuk tenaga medis di Puskesmas Ujungpanjang Baru, terdapat sekitar 50 orang yang hanya sebagian kecil berstatus PNS dan sisanya adalah tenaga sukarelawan (laskar pelangi).
Di Puskesmas Ujungpandang Baru hanya ada dokter umum, dokter gigi dan dokter kandungan, sedangkan untuk dokter spesialis belum ada. Hanya saja, sekali sepekan dapat dijadwalkan ada sesuai dengan kebutuhan pasien atau terdapat kejadian luar biasa (KLB).
Fenomena ini adalah puskesmas di dalam Kota Makassar dengan sejumlah faskes yang tersedia. Kendati masih berhadapan dengan sejumlah keterbatasan, tetapi semangat untuk memberikan layanan optimal terus digelorakan. Apalagi saat ini, masyarakat sudah semakin melek dengan kesehatan, terutama untuk yang berdomisili di wilayah perkotaan.
Sementara rumah sakit atau faskes yang sudah banyak tenaga medisnya, diharapkan dapat membagi diri ke lokasi yang masih minim tenaga kesehatan. Hal ini untuk mendukung kebijakan baru Kemenkes yang mengharapkan dokter dan dokter spesialis tidak lagi menumpuk di ibu kota suatu provinsi atau kabupaten/kota, sehingga kelak terjadi pemerataan tenaga medis, khususnya di wilayah KTI.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023