Jakarta (ANTARA) - Dokter Anak Rumah Sakit Permata Depok Agnes Tri Harjaningrum mengatakan cacing laut atau nyale yang banyak dikonsumsi masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat menjadi alternatif pangan lokal yang dapat mencegah stunting pada anak.
“Sebetulnya (nyale itu memang) ada di beberapa daerah yang memang seperti itu, ya. Kalau memang itu lebih murah dan memang diteliti mengandung protein banyak, itu bisa dimakan,” kata Agnes dalam Media Briefing KOPMAS yang diikuti di Jakarta, Selasa.
Agnes menuturkan pemberian protein hewani pada anak bisa didapatkan dari berbagai panganan lokal dengan harga yang lebih terjangkau, salah satunya adalah nyale tersebut.
Meski nyale digunakan sebagai pengganti protein hewani dari telur atau ikan, cara memasaknya harus tetap diperhatikan. Hal itu berguna untuk mencegah terjadinya alergi atau infeksi dari sebuah virus yang terbawa.
Baca juga: Untuk tekan stunting, PKK ajak warga Maluku konsumsi pangan lokal
Baca juga: Kedaulatan pangan mudahkan RI produksi makanan cegah stunting
Dengan demikian, anak bisa terhindar dari stunting dimana salah satu faktornya adalah mengalami infeksi berulang.
“Saya juga pernah dengar di Papua itu ada yang mirip-mirip seperti itu. Sagu juga itu bisa, asal aman. Jangan lupa amannya dan cara masaknya yang benar, nanti kalau pada alergi bahaya,” katanya.
Agnes melanjutkan makanan lain yang dapat dijadikan alternatif keluarga jika tidak bisa memberikan daging adalah dengan mengkonsumsi telur, ikan kembung, susu UHT ataupun hati ayam.
Selaras dengan program pemerintah yang kini menggaungkan pencegahan stunting, Agnes menekankan protein hewani penting untuk melindungi anak dari stunting. Sebab, stunting paling banyak terjadi di usia tiga bulan hingga anak berusia dua tahun.
“Ini selain karena kekurangan gizi kronis, ibu tidak membawa anak ke posyandu. Jadi tidak dipantau tumbuh kembangnya. Di buku KIA ada grafik, jadi ada yang namanya weight faltering. Kalau berat badannya tidak naik dua tiga bulan berturut-turut itu harus diintervensi, itu cara efektif untuk mencegah stunting,” ujarnya.
Hal lain yang Agnes sebutkan untuk menunjang proteksi pada anak dari stunting, adalah menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, menjalankan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), melanjutkan ASI eksklusif sampai anak berusia dua tahun agar anak tidak mudah sakit.
Agnes mengingatkan selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), semua orang tua harus terus memantau tumbuh kembang anak dengan jeli. Berat badan anak yang terus menurun, dikhawatirkan akan menyebabkan anak menjadi stunting dan mempengaruhi produktivitasnya.
“Stunting itu dia adalah malnutrisi kronis, jadi hubungannya sama gizi yang berkepanjangan, kata kuncinya di sana dan akibat dari infeksi berulang. Itu yang membuat tubuhnya pendek, IQ-nya turun, sakit-sakitan dan ke depannya obesitas, juga terkena penyakit metabolik tadi. kalau (pendek) karena genetik mereka tidak stunting,” katanya.
Sebelumnya, terdapat sejumlah pemberitaan yang mengatakan kalau masyarakat NTB menggunakan cacing laut yang didapat secara melimpah dari Festival Bau Nyale, untuk memenuhi asupan protein hewani pada anak. Dokter Spesialis Gizi Klinik Alia Hospital Jakarta Nurul Ratna Mutu Manikam mengatakan kandungan protein hewani pada cacing laut bisa mencapai 43,84 persen terhadap beratnya.
Kandungan protein hewaninya bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam 12,2 persen dan susu sapi sekitar 3,5 persen.*
Baca juga: BKKBN minta orang tua untuk tidak coba-coba beri kopi pada balita
Baca juga: BKKBN: Tingginya stunting bukti nyata gizi anak yang belum merata
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023