PP 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini, mulai dari aturan periklanan, promosi, hingga perdagangannya,

Jakarta (ANTARA) - Pelaku industri hasil tembakau (IHT) yang tergabung dalam Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyebut bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih relevan untuk mengatur industri pertembakauan saat ini.

"PP 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini, mulai dari aturan periklanan, promosi, hingga perdagangannya,” kata Ketua Gaprindo Benny Wahyudi di Jakarta, Selasa.

Dengan demikian, Benny menyampaikan bahwa revisi terhadap aturan tersebut belum perlu dilakukan.

Baca juga: Pemprov Jatim bangun Kawasan Industri Hasil Tembakau di Sumenep

Benny memaparkan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan di bidang kesehatan, di antaranya pada pasal 23 menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.

Kemudian, pada pasal 49 menjelaskan pengaturan kawasan tanpa rokok, lasal 31 mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship.

Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengungkapkan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan.

“Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi," katanya.

Henry menilai usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian, yang dinilai dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia.

“Padahal, kalau mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan,” ujar Henry.

Baca juga: Asosiasi konsumen dukung BRIN riset produk tembakau alternatif

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan bahwa perlu dirumuskan formula baku untuk menetapkan revisi dengan tetap memperhatikan beberapa dimensi.

“Beberapa pertimbangan antara lain pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data terkini tiap tahun,” kata Tauhid.

Hal tersebut tidak terlepas dari peran IHT terhadap perekonomian, di mana menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), peran tanaman tembakau dalam perekonomian sebesar 8 persen.

Selain itu, peran industri pengolahan tembakau dalam perekonomian semakin turun dari 0,85 persen pada kuartal I/2018 menjadi 0,67 persen pada kuartal IV/2022.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023