Bumi Adat atau Rumah Adat di Kampung Cikondang sudah berusia 370 tahun dan hanya ada tersisa satu
Bandung (ANTARA) -
Mengunjungi kampung yang masih memegang tradisi leluhur dan melestarikan kearifan lokal, melalui sebuah bangunan fisik, menjadi pengalaman tersendiri bagi setiap wisatawan.

Bukti sejarah peninggalan leluhur tersebut berada di sebuah rumah adat yang disebut Bumi Adat (Bumi dalam bahasa Sunda artinya rumah). Melalui bangunan bersejarah itu nilai-nilai kearifan hidup peninggalan leluhur terlihat terus dirawat dan masih diterapkan sehari-hari.

Keunikan bangunan tersebut menjadikan sejumlah wisatawan dalam negeri maupun mancanegara berdatangan ke Kampung Adat Cikondang.

Oleh karena itu tidak mengherankan jika Kampung Adat Cikondang ini cocok dijadikan sebagai lokasi wisata edukasi.

Kampung Adat Cikondang terletak di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tepatnya berada di sebuah desa terpencil yang berada di kaki Gunung Tilu Pangalengan.

Pada abad ke-17, terdapat 61 rumah adat yang didirikan, namun saat ini hanya tersisa satu rumah adat.

Sebagian besar rumah adat tersebut musnah karena pada abad19 terbakar dan hanya menyisakan satu rumah yang kini masih tetap dilestarikan.

Kampung Adat Cikondang ini merupakan permukiman dengan arsitektur rumah tradisional yang berdiri di atas tanah seluas 3 hektare.

Untuk mencapai ke lokasi rumah adat tersebut bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Jaraknya sekitar 38 kilometer dari Kota Bandung via Kecamatan Banjaran.

Selama perjalanan ke sana, wisatawan akan melewati wilayah Pangalengan yang asri dengan pemandangan pohon yang rimbun di sepanjang jalan.

Sebelum sampai di Kampung Adat Cikondang, wisatawan harus memasuki gang sempit dan beberapa rumah warga untuk sampai di sana.

Di setiap jalan juga ada petunjuk dengan tulisan rumah adat dalam bahasa Indonesia dan aksara Sunda.

Di kampung itu terdapat pula rumah warga. Saat mengunjungi kampung itu terlihat sekumpulan ibu yang asyik bercanda ria. Momen ini langsung menjadi objek pertama yang bisa dilihat setelah sampai di sana.

Sebelum tiba di rumah adat, pengunjung diminta singgah terlebih dahulu di salah satu rumah warga dengan disambut oleh beberapa pemuda yang memakai kain yang diikat di kepala mereka.

Lalu salah seorang warga bernama Ibu Nonok mempersilakan setiap pengunjung atau wisatawan mengisi buku tamu terlebih dahulu.

Di buku tamu tersebut terlihat ada beberapa nama pengunjung dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat.

Ibu Nonok mengatakan para pengunjung harus menunggu terlebih dahulu karena sebelumnya ada kunjungan 30 orang dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

Selama menunggu, pengunjung disuguhi minuman dan makanan oleh warga setempat. Setelah kenyang menyantap hidangan yang sudah disuguhkan akhirnya para wisatawan diperbolehkan menuju ke Bumi Adat yang tidak jauh di belakang rumah warga.

Terlihat dari luar rumah adat tersebut memiliki konstruksi di bagian bawah rumah berupa kayu-kayu penyangga. Jika dilihat, kayu tersebut masih sangat kokoh dengan dinding dan atap yang terbuat dari bambu.

Selama mengunjungi rumah adat, pengunjung didampingi oleh juru kunci bernama Anom Juhana (76 tahun) .

Sebelum memasuki Bumi Adat, Ki Anom menjelaskan terlebih dahulu asal-usul Bumi Adat serta ciri khas Kampung Cikondang.

Selagi mendengarkan Ki Anom, pengunjung disuguhi embusan udara sejuk, menikmati hijau pepohonan yang memanjakan mata, dan mendengarkan suara ayam berkokok yang saling bersautan.

Ki Anom menjelaskan Bumi Adat atau Rumah Adat di Kampung Cikondang sudah berusia 370 tahun dan hanya ada tersisa satu rumah saja sehingga rumah ini menjadi peninggalan yang begitu berharga.

Ki Anom mengatakan ciri khas Kampung Asat Cikondang ialah tetap melestarikan nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya kuliner, seperti nasi tumpeng dan rujak curo.

Selain itu, setiap tanggal 1 Muharam ada kegiatan para ibu yang menumbuk padi untuk persiapan acara tahunan yaitu Wuku Taun, yang diadakan setiap tanggal 15 Muharam. Dahulu, pekerjaan utama warga Cikondang bertani, namun seiring zaman kini banyak warga yang memiliki beragam profesi.

Selesai mendengarkan penjelasan Ki Anom, para pengunjung dipersilahkan masuk ke dalam Rumah Adat.

Setelah melewati pintu masuk, terdapat keris kecil yang menempel di tengah-tengah pintu. Kemudian saat masuk ke dalam, terasa suasana tradisional yang terlihat dari banyaknya perkakas terbuat dari anyaman dan peranti dapur yang masih sangat tradisional.

Di dalam Bumi Adat tersebut terdapat dua kamar. Pertama, yaitu kamar larangan yang memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda keramat. Kamar kedua, yaitu goah. Kamar tersebut berfungsi untuk menyimpan beras.

Di dinding rumah tergantung pigura yang terbuat dari anyaman. Di dalam pigura-pigura tersebut terdapat nama-nama silsilah Kampung Adat Cikondang dan silsilah tetua Kampung Adat Cikondang.

Hutan Larangan


Selain Bumi Adat, di Kampung Adat Cikondang juga terdapat Hutan Larangan yang letaknya tepat di belakang Rumah Adat.

Ada pantangan ketika ingin memasuki Hutan Larangan. Ki Anom menjelaskan pengunjung tidak boleh memasuki Rumah Adat dan Hutan Larangan pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.

Kemudian saat memasuki Hutan Larangan, pengunjung diwajibkan membuka alas kaki dan masuk kaki kanan terlebih dahulu kemudian ketika keluar dengan kaki kiri. Bagi wanita yang sedang haid dilarang masuk.

Hutan Larangan dulu digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka peninggalan para wali dan tempat para warga bersembunyi dari zaman penjajahan.

Namun pada saat ini benda-benda pusaka tersebut disimpan di salah satu kamar yang ada di Rumah Adat. Tidak sembarang orang bisa melihatnya.

Setelah diajak berkeliling ke Rumah Adat dan Hutan Larangan, masih ada satu tempat lagi yang wajib dikunjungi, yaitu makam dari salah satu buyut para wali dan makam juru kunci yang pertama. Tempatnya di samping hutan larangan, masuk sejauh sekitar 300 meter.

Banyak kearifan dan wawasan yang didapat selama berkelana di Kampung Adat Cikondang. Ki Anom berpesan untuk selalu melestarikan kebudayaan dan tempat bersejarah di Indonesia.












Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023