Jakarta (ANTARA News) - Kecelakaan kereta api (KA) yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini bukan sepenuhnya akibat `human error` (kesalahan manusia), namun lebih disebabkan oleh `technical error` karena hampir separoh sarana dan prasarana KA tidak layak operasi. Hanafi Rustandi, Koordinator International Transport Workers Federation (ITF) Indonesia di Jakarta, Rabu, mengatakan pemerintah harus segera membenahi sistem manajemen perkereta-apian secara menyeluruh, termasuk meningkatkan seluruh fasilitas KA dan kesejahteraan karyawan, sehingga KA menjadi andalan utama bagi angkutan penumpang dan barang. "Selama perhatian pemerintah kurang, kondisi KA di Indonesia tetap akan terbelakang," kata Hanafi seusai menerima pengurus Serikat Pekerja Kereta Api (SP KA) yang dipimpin ketuanya, Iwan Setiawan. Konsultasi itu dilakukan sehubungan SP KA akan menghadiri kongres ITF Sektor Kereta-Api di Durban, Afrika Selatan Agustus mendatang. Perkembangan KA di Indonesia ada sejak tahun 1928 tapi sampai sekarang sangat lambat, bahkan tertinggal jauh dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal itu disebabkan pemerintah tidak serius menjadikan KA sebagai transportasi andalan bagi masyarakat. Iwan Setiawan menilai ungkapan bahwa kecelakaan KA akibat "human error" hanya mengkambing-hitamkan karyawan, tanpa melihat kenyataan bahwa 45 persen sarana dan prasarana yang mendukung keselamatan KA sebenarnya sudah tidak layak operasi seperti kondisi rel, lokomotif, gerbong dan segala peralatannya. "Kondisi itu diperparah dengan rendahnya tingkat kesejahteraan karyawan PT KA," sambungnya. Dia mengungkapkan tuntutan karyawan melalui demo besar-besaran untuk memperbaiki kesejahteraannya tahun lalu, sampai sekarang juga belum dipenuhi oleh pemerintah maupun PT KA. Sementara dalam draf RUU Kereta Api yang kini sudah ada di DPR disebutkan gaji masinis golongan II cuma Rp1,2 juta. Untuk menjalankan KA Jakarta-Pekalongan pulang pergi (PP), masinis hanya mendapat uang jalan Rp50.000. Kalau sebulan dia jalan 15 kali berarti mendapat uang jalan Rp750.000. "Dana itu terlihat besar jika diakumulasi tetapi pada praktiknya dana itu habis untuk masinis pada setiap perjalanannya," kata Iwan. Dia juga khawatir dalam RUU KA nanti akan mengarah pada privatisasi, dimana perusahaan akan dipecah-pecah secara regional dan vertikal. "Dampaknya akan merugikan karyawan, sementara pelayanan juga akan menurun," kata Iwan. Iwan berharap pemerintah jangan dulu memprivatisasi PT KA sebelum BUMN itu melaksanakan kewajibannya menjamin pendapatan dan kesehatan karyawan serta pensiunan minimal sama dengan PNS. "Pemerintah jangan merombak perusahaan sebelum melaksanakan kewajibannya kepada karyawan," katanya seraya mengingatkan nasib karyawan akan semakin tidak menentu bila hasil tuntutan tidak dipenuhi sementara perusahaan diobrak-abrik gara-gara adanya UU KA yang baru. Menurut Iwan, dari dana pensiun untuk karyawan KA sebesar Rp2,6 triliun, Rp58 miliar di antaranya merupakan kewajiban pemerintah untuk segera dibayarkan. "Ini harus diselesaikan dulu," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006