Paris (ANTARA) - Kementerian Dalam Negeri Prancis pada Sabtu (11/2) mengatakan bahwa sekitar 963.000 orang di seluruh wilayah negara itu berunjuk rasa untuk memprotes usulan reformasi pensiun.
Jumlah pengunjuk rasa yang menentang reformasi aturan pensiun Prancis itu naik dari 757.000 orang yang tercatat pada 7 Februari.
Sementara untuk CGT, serikat pekerja terbesar di Prancis, angka mobilisasi nasional pada Sabtu mencapai 2,5 juta orang, dibandingkan sekitar 2 juta orang pada Selasa (7/2).
Perdana Menteri Prancis Elisabeth Borne memaparkan perincian rencana reformasi pensiun itu pada Januari, yang akan secara progresif menaikkan usia pensiun resmi sebanyak tiga bulan per tahun dari 62 tahun menjadi 64 tahun hingga 2030, dan akan memberlakukan dana pensiun minimum yang dijamin.
Dalam rencana tersebut juga dicantumkan bahwa mulai 2027, masyarakat harus sudah bekerja selama sedikitnya 43 tahun jika ingin dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan dana pensiun penuh.
Meskipun beberapa wilayah di Prancis memasuki masa liburan sekolah untuk musim dingin, jumlah pengunjuk rasa meningkat di banyak kota.
Para petugas pengawas lalu lintas udara di Bandar Udara Orly di Paris pun turut melakukan aksi mogok yang tidak dijadwalkan pada Sabtu (11/2) sehingga menyebabkan separuh dari total penerbangan di bandara tersebut dibatalkan.
Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil Prancis mengatakan bahwa pihaknya tidak menerima pemberitahuan atau panggilan perihal adanya aksi mogok. "Ketentuan layanan minimum belum diaktifkan," sebut direktorat tersebut.
Di Paris saja, Kantor Kepolisian Paris mencatat bahwa 93.000 orang turun ke jalanan, yang merupakan rekor tertinggi sejak awal gerakan protes nasional untuk menentang rencana reformasi aturan pensiun itu.
Sedikitnya 10 orang telah ditangkap, sementara seorang polisi terluka di bagian mata, kata Kantor Polisi Paris.
Sejumlah serikat pekerja utama di Prancis juga bersama-sama mengajak para pekerja untuk "mogok kerja di semua sektor di Prancis pada 7 Maret" jika pemerintah dan parlemen negara itu menolak mendengarkan protes masyarakat.
Mereka mengancam akan menggelar sejumlah aksi "guna menyoroti ketidakadilan sosial besar dari reformasi itu yang merugikan perempuan" pada 8 Maret, yang merupakan Hari Perempuan Internasional.
Pewarta: Xinhua
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023