Jakarta (ANTARA) - Lembaga keuangan, khususnya perbankan nasional, kini dalam kondisi antisipatif menghadapi berbagai kemungkinan dalam mencermati perkembangan ekonomi global.

Memang, otoritas keuangan memberikan jaminan fundamental ekonomi dalam kondisi terbaik pada saat ini, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan bisa 5,2-5,3 persen.

Namun, meski ada angin optimistis di dalam negeri, tapi bagi kalangan perbankan antisipasi menjadi suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar untuk senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi di luar negeri.

Sistem keuangan termasuk perbankan merupakan fondasi penting suatu negara. Apabila rapuh, maka ketika muncul gejolak sedikit saja akan menimbulkan dampak sistemik yang membahayakan stabilitas ekonomi.

Kalangan perbankan nasional sepertinya sudah kenyang dengan dinamika yang dihadapi di luar negeri, seperti krisis subprime mortgage, kebangkrutan Lehman Brothers, krisis finansial global, hingga pandemi COVID-19. Namun semua itu berhasil dilewati dengan baik.

Kendati begitu, bayang-bayang krisis ekonomi kali ini tidak bisa dianggap remeh. Ancaman resesi global serta krisis pangan apabila konflik Rusia dengan Ukraina terus berkepanjangan, harus disikapi dengan cermat.

Chief Economist PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan perlunya mengantisipasi perdagangan luar negeri dengan memetakan produk ekspor unggulan dan pengamanan produk impor penting.

Menurut Josua, dampak dari resesi ekonomi global akan dirasakan semua negara. Ekonomi global akan turun. Hal ini dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi negara maju, kendati data IMF menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif.

Dengan kondisi seperti ini, penting bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi perdagangan dengan luar negeri terutama untuk produk-produk yang bersentuhan dengan negara potensial termasuk Amerika, Eropa, dan Inggris.

Akses pemodalan bagi pelaku UMKM sangat penting untuk menghadapi krisis ekonomi global. ANTARA/ Ganet Dirgantoro

Penguatan perbankan

Penguatan perbankan nasional menjadi faktor terpenting untuk menghadapi tahun 2023. Beruntung ketika pandemi seluruh sektor dipaksa keadaan untuk masuk ke layanan digital tidak terkecuali perbankan.

Saat ini hampir seluruh layanan perbankan termasuk kredit dilakukan secara daring. Bahkan, perbankan kini dengan mudah mengetahui kualitas debitur dengan adanya "BI checking".

Pada era digital ini, semua identitas pemohon kredit sebenarnya bisa langsung dikenali, termasuk rekam jejak selama berhubungan dengan perbankan. Hal ini yang membuat kualitas kredit perbankan pada tahun 2022 terus membaik.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit bermasalah tercermin dari non performing loan (NPL) Januari-Oktober 2022 masih dalam batas aman yakni 0,78 persen (net) dan NPL 2,72 persen (bruto).

Dengan kondisi demikian, perbankan tentunya lebih leluasa menjalankan fungsi intermediasi yakni menghimpun dana masyarakat, sekaligus menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Hanya saja, penting untuk memastikan semua itu masih dalam koridor yang aman dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle).

Anggota DPR RI Komisi XI, Kamrussamad, menyatakan bakal terus mendorong OJK untuk selalu melakukan pengawasan, khususnya di bidang investasi perbankan, melalui kolaborasi dengan Polri dan KPK demi terciptanya ekosistem perbankan yang kuat.

Dengan terciptanya penguatan kelembagaan perbankan, pada akhirnya dapat menopang sistem keuangan di Indonesia agar lebih mampu menghadapi berbagai gejolak.

Tak hanya itu, struktur pembiayaan perbankan saat ini juga lebih kokoh yakni lebih banyak tersalurkan kepada usaha kecil dan menengah. Pengalaman krisis ekonomi 1998, usaha mikro kecil dan menengah justru menjadi penyelamat. Ekonomi bisa dengan cepat pulih kembali.


Pembiayaan UMKM

Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan menyebutkan target pemerintah, di 2024 nanti 30 persen pelaku usaha sudah bisa mendapatkan bantuan kredit perbankan. Sementara data saat ini dari 57 juta pelaku usaha, baru 12 juta mendapatkan akses perbankan.

Masih berdasarkan data kuantitatif yang memperlihatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia masih di bawah negara tetangga, seperti Jepang. Sebab, kemampuan UMKM dinilai masih lemah, berbeda dengan negara tetangga yang jauh lebih kuat.

Animo masyarakat tinggi mengikuti festival kuliner menunjukkan daya beli masih tinggi . ANTARA/ Ganet Dirgantoro


Belajar dari pengalaman negara tetangga, pelaku UMKM bisa lebih mandiri dan lebih kuat bukan karena dukungan pemerintah semata-mata, tetapi memang sudah menjadi satu kesatuan ekosistem dengan pelaku usaha menengah dan besar.

Hadirnya sistem digital sejak pandemi menjadi salah satu peluang bagi UMKM di Indonesia agar bisa naik kelas. Dengan digitalisasi tidak hanya membuat pelaku UMKM lebih mudah dalam mengakses permodalan, namun juga membuat program kemitraan dengan pelaku usaha yang lebih besar juga lebih cepat terjalin.

Anggota DPR-RI Komisi XI, Eriko Sotarduga, menilai dengan kemajuan digital saat ini pelaku UMKM lebih mudah untuk memasarkan produknya dan semua ini berlangsung demikian cepat sejak pandemi lalu.

Tak hanya itu, sejak Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), minat pelaku UMKM melakukan transaksi termasuk pedagang kaki lima sangat tinggi, mengingat masyarakat saat ini lebih suka bertransaksi menggunakan dompet elektronik.

Alasannya, lebih aman dan hemat. Hanya berbekal ponsel sudah bisa berbelanja bahkan bisa mendapat dana kembali (cash back). Jika pada awal tahun 2020 baru ada sekitar 600 ribu pengguna, tapi pada akhir tahun 2022 sudah ada 30 juta pengguna transaksi digital. Dari jumlah itu 20,5 juta adalah UMKM. UMKM di Indonesia 64 juta, berarti 30 persen atau hampir sepertiga sudah dihubungkan dengan QRIS.

Di tengah situasi ketidakpastian ekonomi yang kian meningkat, UMKM bisa menjadi penyelamat dan solusi dalam menghadapi masalah ekonomi.

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2018, jumlah pelaku UMKM sebanyak 64,2 juta atau 99,99 persen dari jumlah pelaku usaha di Indonesia. UMKM tersebut didominasi pelaku usaha mikro berjumlah 98,68 persen dengan daya serap tenaga kerja sekitar 89 persen.

Sementara itu, sumbangan UMKM terhadap PDB sejauh ini sudah sekitar 60 persen. Hal ini yang membuat pemerintah menjaga benar iklim berusaha bagi UMKM.

Bagi perbankan, pembiayaan kepada banyak pelaku usaha kecil dan menengah tentunya membuat risiko jauh lebih kecil daripada terpusat membiayai satu debitur saja namun nilainya besar.

Kendalanya, banyak dari pelaku UKM tersebut belum tersentuh pendanaan bank, namun pemerintah telah menjembatani dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan melalui perbankan. Harapan dari KUR itu agar UMKM yang belum tersentuh perbankan akan lebih mudah mendapatkan pendanaan perbankan.

Dalam hal pendanaan, sebenarnya bukanlah yang utama di tengah berkembangnya era digital saat ini, dengan bermunculan juga pinjaman daring atau dikenal dengan pinjaman online (pinjol). Namun, pinjaman yang dimaksud tentunya yang resmi dan diakui OJK, bahkan beberapa diantaranya merupakan kepanjangan tangan dari perbankan. Dengan pinjol resmi ini pelaku UMKM dengan mudah mendapat fasilitas pinjaman tanpa harus menyertakan aset sebagai jaminan.

Dengan terciptanya sistem pembiayaan yang mampu menjembatani pelaku usaha, khususnya UMKM, maka diharapkan tahun 2023 akan dapat dilewati dengan aman, dan target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023