Jakarta (ANTARA News) - Kelangkaan pasokan gas dan listrik mengancam produksi PT Krakatau Steel (KS) untuk memenuhi kebutuhan baja di dalam negeri yang mulai menggeliat pada akhir April dan awal Mei 2006. "Saat ini kami punya kontrak gas 100 mmscfd, tapi kuota yang diperoleh hanya 85 mmscfd, yang dipasok hanya 74 mmscfd," kata Direktur Pemasaran KS Kemal Masduki, di Jakarta, Rabu. Akibat berkurangnya pasokan gas tersebut, lanjut dia, KS mengalihkan penggunaan gas untuk energinya ke BBM, sehingga biaya produksi meningkat, karena biaya energi naik menjadi Rp950 per kwh dibandingkan sebelumnya yang hanya Rp430 per khw. Sementara itu, kata dia, pasokan listrik dari PLN juga terus berkurang dari 150 KVA menjadi 100 KVA dan bahkan kini tidak dipasok lagi, karena ada masalah pembangkit listrik di Muara Karang. "Kalau pasokan listrik PLN lancar, maka kami bisa mengatasi berkurangnya pasokan gas, tapi saat ini PLN bahkan tidak bisa memasok listrik lagi akibat gangguan pembangkit listrik di Muara Karang," katanya. Akibatnya, KS harus mengaktifkan pembangkit listrik sendiri dengan menggunakan BBM sehingga biaya energi dari sekitar 40 dolar AS per ton naik menjadi 150 dolar AS per ton. Untuk mengatasi krisis energi tersebut, kata dia, KS terpaksa menghentikan pabrik dan mengurangi produksinya. "Terutama produksi hulu kita yang terganggu, yaitu produksi sponge (bijih besi) yang semula 150 ribu ton per bulan menjadi 100 ribu ton per bulan karena hanya menggunakan satu reformator untuk dua reaktor, biasanya dua reformer untuk tiga reaktor," ujar Dirut KS Daenulhay menambahkan. Selain produksi bijih besi yang terganggu, menurut Daenulhay, produksi slab yang merupakan bahan baku baja lembaran panas (HRC) juga terhanggung. "Steel Making yang seharusnya memproduksi 150 ribu ton per bulan hanya menjadi 110 ribu ton per bulan," katanya. Dampak lanjutannya, untuk memproduksi HRC dengan kapasitas 160 ribu ton per bulan, pihaknya harus mengimpor slab lebih banyak lagi, sehingga biaya produksi HRC juga diperkirakan meningkat. "Jadi masalah gas dan listrik sangat dominan dan vital bagi KS. Kalau gas dipasok sebesar 85 mmscfd saja itu sudah bagus untuk KS," katanya. Sementara itu, lanjut Direktur Pemasaran KS Kemal Masduki, pada akhir April sampai awal Mei 2006 mulai timbul tanda-tanda perbaikan permintaan baja di pasar domestik setelah pada kuartal pertama cenderung turun, sehingga kenaikan harga baja dunia yang mencapai di atas 500 dolar AS per ton belum berdampak signifikan bagi industri hilir di dalam negeri. "Pada awal Mei 2006 permintaan baja mulai naik. Konsumen mulai membangun inventory terutama untuk ukuran yang sudah kosong," ujarnya. Kemal juga memperkirakan permintaan baja domestik akan meningkat menyusul terus naiknya harga baja internasional sehingga harga impor menjadi lebih tinggi. Namun, ia juga memperkirakan kemungkinan akan terjadi kelangkaan baja karena kurangnya pasokan baja "semi finish" sehingga harga akan kembali melonjak. Ia memperkirakan harga HRC di dalam negeri bisa mencapai 600 dolar AS per ton dengan kenaikan rata-rata mencapai 20-30 dolar AS per ton.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006