kita tidak bisa melakukan pendekatan bahwa ini 100 persen sosial atau 100 persen keuntungan.

Jakarta (ANTARA) - Pola bisnis yang hanya berorientasi pada keuntungan semata dinilai tak lagi relevan pada masa kini. Bisnis kini tidak semata menghasilkan keuntungan, tetapi dapat memberikan dampak positif dalam kelestarian lingkungan maupun kehidupan sosial masyarakat.

Hal itu dikenal dengan kewirausahaan yang berkelanjutan atau sustainable entrepreneurship yang menjadi paradigma baru dalam berbisnis. Bisnis tidak hanya menciptakan solusi pasar yang layak, tetapi juga bertindak sebagai agen perubahan dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Pakar bisnis berkelanjutan dari Yale School of Management Dr. Teresa Chahine menjelaskan isu berkelanjutan akan memengaruhi keputusan dalam berinvestasi.

“Dunia bisnis dan masyarakat itu semakin menyatu dan kita tidak bisa melakukan pendekatan bahwa ini 100 persen sosial atau ini 100 persen berorientasi pada keuntungan. Fokus kita bagaimana berorientasi pada generasi mendatang,” katanya.

Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antarpemangku kepentingan sehingga dapat menciptakan inovasi sosial yang memiliki dampak pada masyarakat. Dalam kewirausahaan yang berkelanjutan, pelaku berusaha menciptakan lingkungan perubahan sosial yang baik dan membuat pertumbuhan ekonomi yang baik.

Dicontohkan bagaimana ada satu perusahaan joint venture yang didirikan untuk membantu perusahaan rintisan yang berusaha mengangkat para pelanggan mereka yang hidup pada jurang kemiskinan di Brazil melalui dukungan keuangan dan manajerial.

Dalam hal ini, Teresa menilai perlu adanya pola pikir dan keahlian yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, memetakan dan dapat berkontribusi pada perubahan sosial yang ada di masyarakat.

Social Entrepreneurship Lecturer Core Faculty PPM School of Management, Anggun Pesona Intan, mengatakan saat ini semakin banyak generasi muda yang bercita-cita untuk memiliki pekerjaan yang mempunyai tujuan dan dampak positif dengan mempertimbangkan 5P yakni people (masyarakat), planet (kelestarian alam), prosperity (kemakmuran), peace (kedamaian), dan partnerships (kemitraan).

“Pekerjaan yang berdampak akan menjadi sesuatu yang lumrah pada masa depan,” kata Anggun.

Berdasarkan laporan Platform Usaha Sosial (PLUS) pada 2018, jumlah pelaku kewirausahaan sosial di Indonesia diestimasikan sebanyak 342.000 entitas. Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) juga turut melaporkan bahwa jumlah modal pada investasi yang berdampak (impact investment) tumbuh hingga 400 persen selama kurun waktu 2013-2020. Hal itu menggambarkan bahwa terdapat potensi pengembangan sustainable entrepreneurship atau kewirausahaan yang berkelanjutan di Indonesia dalam rangka penyelesaiannya permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan.

“Kami terus berupaya mendorong para mahasiswa untuk memiliki kreativitas dan kemampuan yang dapat menumbuhkembangkan inovasi sosial atau inisiatif-inisiatif keberlanjutan baik sebagai pengusaha-pengusaha yang berorientasi pada sustainability maupun sebagai pengusaha,” terang Anggun.

Anggun menjelaskan bahwa para pengusaha perlu memiliki visi untuk dapat tumbuh bersama dengan mitra agar dapat berdampak positif bagi masyarakat dan negara.

“Oleh karena itu, kita perlu membuka mata bahwa masih banyak permasalahan sosial dan lingkungan yang terjadi di masyarakat. Bersama-sama, kita dapat mengatasi masalah ini yang juga sejalan dengan arahan pemerintah untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s),” imbuh Anggun.

Pihaknya melalui perguruan tinggi terus berupaya untuk mencetak agen-agen perubahan, yang mana saat sudah lulus dan berkarya untuk bisa juga peduli dengan masalah keberlanjutan.

Fokus pada penyangga kehidupan

Koordinator Tim Ahli SDG’s Bappenas, Yanuar Nugroho, mengatakan kewirausahaan sosial yang berkelanjutan fokus pada penyangga kehidupan dan komunitas dalam mengejar peluang usaha dan menciptakan produk, proses dan layanan.

“Jadi ada inovasi proses dan layanan untuk memperoleh keuntungan. Nah keuntungan di sini, mencakup tidak hanya manfaat secara ekonomi tetapi juga non ekonomi,” kata Yanuar.

Keuntungan atau manfaat tersebutlah yang menjadi pondasi dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Dalam 10 tahun terakhir, lanjut Yanuar, investasi berkelanjutan itu tumbuh sangat signifikan karena semakin banyak yang memahami dengan keberlanjutan yang dihadapi dunia saat ini. Diantaranya bagaimana mengatasi dampak akibat perubahan iklim dan persoalan tata kelola.

Presiden Direktur Martina Berto Group, Bryan Tilaar, mengatakan nilai keberlanjutan itu dapat diselaraskan di dalam bisnis, yang mana bisnis tetap mendapatkan keuntungan namun juga tetap berdampak.

Bryan memberikan contoh bagaimana program pemberdayaan perempuan, pelestarian lingkungan serta kesejahteraan keluarga melalui Kampoeng Djamu Organik (Kado) yang merupakan lahan hijau berkonsep taman organik di wilayah Cikarang, Jawa Barat.

Lebih dari 650 jenis tanaman obat, aromatik, dan kosmetik di tanam di wilayah seluas 10 hektare tersebut. Terdapat lima elemen dalam KADO , yakni garden, pabrik jamu, klinik jamu, pusat pelatihan spa, dan kedai sehat.

Pihaknya mengusung filosofi Tri Hita Karana, yang maknanya bahwa manusia selalu berhubungan dengan Tuhan melalui doa, manusia dengan manusia dan alam.

“Jadi, kita perlu melestarikan alam yang ada dan di sisi yang lain ada kepedulian pada sesama manusia terkait berbagai persoalan yang dihadapinya,” ujar Bryan.

Kewirausahaan yang berkelanjutan merupakan solusi yang saling menguntungkan dari berbagai permasalahan sosial yang ada, namun tetap mempertimbangkan aspek kesejahteraan maupun keuntungan.

Keberlanjutan sebuah entitas bisnis pada masa depan bakal ditentukan oleh dua variabel pokok: keuntungan ekonomi dan kontribusi pada kehidupan sosial masyarakat.









Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023