Ada keluhan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) seperti suka kecipirit, mengeluh nyeri saat BAK dan BAB, ada gatal, cairan atau kotoran yang keluar dari vagina, serta ada luka di kemaluan atau anus

Jakarta (ANTARA) - Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Eva Devita, SpA(K) menuturkan tidak semua anak berani mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami sehingga seharusnya orangtua bisa mengenali tanda bila mereka mengalami kejadian itu.

Baca juga: Sosiolog: Cegah kekerasan seksual pada anak lewat edukasi sejak dini

Dalam sebuah media briefing secara virtual, Kamis dia menyebutkan tanda pertama yakni perubahan perilaku misalnya anak cemas, mengalami depresi, anak yang tadinya ceria menjadi tidak demikian, takut bertemu orang asing, bahkan mungkin menghindar dari pelaku.

Selain itu, anak cenderung menarik diri, kemudian pada anak yang sudah berusia remaja kadang-kadang bisa menunjukkan perilaku percobaan bunuh diri, performa di sekolah menurun dan berkurangnya konsentrasi.

Tanda lainnya yakni munculnya keluhan-keluhan tidak jelas dari anak seperti menolak untuk pergi ke sekolah, sakit perut, sakit kepala dan sebagainya. Menurut Eva, anak juga bisa mengalami gangguan makan dan tidur seperti tidak nafsu makan, tidak mau makan, bulimia yakni memuntahkan makanan yang sudah dimakan, mengalami mimpi buruk dan sulit untuk tidur.

Baca juga: Cegah kekerasan seksual, orang tua diminta awasi perilaku anak

"Ada keluhan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) seperti suka kecipirit, mengeluh nyeri saat BAK dan BAB, ada gatal, cairan atau kotoran yang keluar dari vagina, serta ada luka di kemaluan atau anus," kata Eva.

Penelitian menunjukkan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa mengalami depresi, rasa bersalah pada diri sendiri, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain dan suka berganti pasangan di usia remaja.

Mereka juga empat kali lebih mungkin mengalami perilaku atau upaya bunuh diri, empat kali lebih besar melakukan hubungan seksual sebelum usia 15 tahun serta 4,5 kali lebih mungkin mengalami depresi.

"Dampaknya saat anak mengalami kejadian tetapi juga ke depannya anak alami permasalahan," kata Eva.

Dampak ini, sambung dia, tergantung juga pada sejumlah faktor antara lain usia anak saat mengalami kekerasan, frekuensi dia mengalami kekerasan dan derajat beratnya kekerasan yang dialami.

Selain itu, hubungan anak dengan pelaku juga berpengaruh sehingga apabila pelaku ini orang terdekatnya, maka bisa meningkatkan rasa cemas dan mempengaruhi kepribadian serta kondisi sosial dan emosional anak.

"Memang ada faktor protektif seperti dukungan keluarga dan teman sebaya yang bisa mengurangi dampak-dampak itu," demikian ujar Eva.

Baca juga: Kemendikbudristek tingkatkan kapasitas Itjen bagi penanganan kekerasan

Baca juga: Penanganan kekerasan seksual anak Mojokerto didorong gunakan UU SPPA

Baca juga: Kemensos beri dukungan keluarga dan korban kekerasan seksual di Mesuji

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023