Jakarta (ANTARA News) - Panitia Kerja DPR RI untuk masalah PT Freeport Indonesia kemungkinan akan merekomendasikan dilakukannya audit menyeluruh (komprehensif) terhadap kinerja perusahaan asal Amerika Serikat itu yang beroperasi di Papua. "Nuansanya, kita akan dorong dilakukan audit komprehensif. Audit komprehensif ini termasuk penerimaan negara, pengapalan konsentrat, community development, serta dana pengamanan di lokasi pertambangan," kata Ketua Panja Freeport DPR yang juga Wakil Ketua VII DPR, Sonny Keraf di Jakarta, Rabu. Dia menegaskan bahwa hal itu memang belum menjadi keputusan final Panja karena harus dilakukan pleno atas hasil penelitian Panja selama ini. "Kita masih akan bertemu dengan beberapa pihak untuk mengkonfirmasi beberapa data. Mudah-mudahan pada akhir Juni 2006, kita sudah bisa membuat pleno untuk memutuskan hal tersebut," jelasnya. Untuk melakukan audit komprehensif tersebut, menurut dia, Panja tidak merekomendasikan satu pihak manapun, tetapi harus dilakukan oleh tim yang betul-betul independent dan kredibel. "Ini untuk bisa mendapatkan hasil sesuai aspirasi masyarakat di Amongne dan Komoro yang menginginkan dilakukannya revisi kontrak karya dengan Freeport," katanya. Selama ini, kata Sonny, pihaknya melakukan penelitian dan pendataan dengan meninjau lokasi tambang dan tailing, bertemu dengan masyarakat adat, serta pemangku kepentingan lain, termasuk Freeport. "Kita hanya mengandalkan data yang diberikan Freeport dan Sucofindo, sehingga banyak hal yang harus dikonfirmasi," tambahnya. Selain mengenai pengapalan konsentrat, kata dia, audit komprehensif juga diharapkan bisa menjelaskan kemungkinan adanya perbedaan barang-barang impor yang bebas bea masuk. Padahal, produk impor tersebut harus dikenai bea masuk. Lingkungan Sebelumnya, Greenomics Indonesia meminta Freeport mendanai pemulihan (restorasi) sistem ekologi sungai di Kabupaten Mimika yang terganggu akibat operasi pertambangannya sebesar 7,5 miliar dolar AS. Pemulihan sistem ekologi secara bertahap ini harus dilakukan untuk menurunkan kerugian akibat terganggunya sistem ekologi sungai seluas 43,451 hektar yang mencapai Rp3,2 triliun per tahun, kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi. Dia menyebutkan kerugian ekologi sungai itu meliputi pengaturan tata air, penyediaan air, pengendalian limbah, dan sumber bahan makanan. Biaya restorasi ekologi sungai itu adalah biaya rata-rata berdasarkan standar internasional yang kemudian di-"ekstrapolasi" dengan luasan areal sistem ekologi sungai yang terindikasi terganggu akibat operasi Freeport. "Perkiraan biaya sebesar 7,5 miliar dolar itu adalah angka yang wajar karena di AS biaya rata-rata mencapai 8 miliar dolar. Harusnya, biaya restorasi itu lebih besar jika memasukkan biaya `replacement cost multiplier`," kata Elfian. Greenomics dalam analisis spasialnya menunjukkan bahwa jika dilakukan perluasan areal pertambangan di Freeport, maka kegiatan itu berpotensi mengancam sistem ekologi sungai sepanjang 4.075 km. Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Chalid Muhammad, mengatakan klaim PT Freeport-Rio Tinto bahwa mutu air yang mengalir melalui sistem pembuangan tailing telah sesuai dengan peraturan Indonesia maupun standar internasional terkait logam berpotensi bahaya, sebagai hal yang tidak benar. Walhi mengungkapkan data yang menyebutkan, Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikrogram per liter (ig/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air tawar di Indonesia yaitu 20 ig/L, dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah Australia, yaitu 5,5 ig/L. Lebih jauh ke hilir, kata dia, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 - 25 ig/L dan bisa mencapai 60 ig/L. Sementara itu, untuk kondisi air laut di Muara Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia untuk tembaga larut adalah 8 ig/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 ig/L sedangkan pencemaran Freeport-Rio Tinto di daerah itu juga melebihi batas legal kandungan tembaga larut yang mencapai rata-rata 16 ig/L dengan rentang tertinggi 36 ig/L. Disebutkan juga bahwa dibandingkan dengan tanah alami hutan, tailing Freeport mengandung tingkat racun logam selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn) dan tembaga (Cu) yang secara signifikan lebih tinggi. Hal itu, kata dia, menunjukkan kemungkinan timbulnya dampak racun pada pertumbuhan tanaman. Pengujian dan pengambilan sampel lapangan menunjukkan bahwa tanaman yang tubuh di tailing mengalami penumpukan logam berat pada jaringan (tissue), menimbulkan bahaya pada mahluk hutan yang memakannya. Dalam rantai makanan, mahluk yang terancam bahaya logam berat dari tailing anatra lain burung raja udang (kingfishers), burung maleo waigeo (brush turkey), burung kipas (fantail), kasuari dan sejumlah mamalia.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006