Jakarta (ANTARA) - Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa bumi dahsyat bermagnitudo 7,8 di Turki bagian tenggara dan Suriah utara hingga tulisan ini dibuat sudah mendekati 8.000 jiwa.
Gempa berkedalaman 18 km dengan episentrum di daratan di Provinsi Gaziantep yang dekat dengan perbatasan Turki-Suriah itu, terjadi pukul 04.17 pagi waktu setempat atau 08.17 WIB.
Gempa ini segera diikuti ratusan gempa susulan yang salah satunya berkekuatan magnitudo 6,7, atau beda tipis dengan kekuatan gempa utama.
Kedahsyatan dan skala kerusakan yang diakibatkan gempa itu, termasuk jumlah nyawa manusia yang direnggutnya, membuat gempa Turki menjadi gempa yang tergolong dahsyat sepanjang abad ke-21.
Kedahsyatan gempa ini hanya satu tingkat di atas gempa Yogyakarta yang terjadi pada 2006 dan meminta korban 5.782 jiwa manusia.
Gempa Aceh yang memicu tsunami besar pada 26 Desember 2004 dan merenggut hampir 230 ribu jiwa yang kebanyakan karena ditenggelamkan dan diseret gelombang tsunami, adalah yang paling dahsyat sepanjang abad 21.
Dari 18 gempa bumi paling dahsyat yang terjadi selama abad 21, lima di antaranya terjadi di Indonesia. Pertama di Aceh pada 2004, kemudian Yogyakarta pada 2006, Palu pada 2018, Nias pada 2005, dan Sumatera Barat pada 2009.
Gempa Turki terjadi hanya kurang dari tiga bulan sejak gempa bumi Cianjur di Indonesia yang merenggut korban jiwa sekitar 600 nyawa.
Gempa bumi sampai saat ini masih menjadi rahasia alam, tepatnya rahasia Tuhan. Kejadiannya bisa kapan saja tanpa didahului gejala alam apa pun, tidak seperti ketika gunung api meletus atau badai menyapu daratan. Sejauh ini, tak ada yang bisa meramalkan kapan gempa berikutnya terjadi.
Namun, sains berusaha untuk semakin tepat menjelaskan mengapa gempa terjadi dan mengapa begitu mengerikan dampaknya sampai merenggut begitu banyak nyawa manusia.
Patahan yang panjang
Sama seperti gempa bumi Cianjur, gempa Turki dan Suriah juga memiliki episentrum di daratan. Keduanya berbeda dari gempa Aceh yang berpusat jauh di tengah samudera dan kemudian memicu tsunami hebat yang tak saja meluluhlantakkan pesisir Aceh, namun juga pantai barat Thailand dan pantai timur dan selatan Sri Lanka, 19 tahun silam.
Baik Gempa Turki maupun Gempa Cianjur sama terjadi karena pergerakan sesar atau patahan aktif di daratan. Jika di Cianjur pada November tahun lalu pemicunya adalah pergerakan Sesar Cugenang yang merupakan patahan baru, maka dalam gempa Turki pemicunya adalah Sesar Anatolia Timur.
Berdasarkan perhitungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika (BMKG), panjang Sesar Cugenang ini "hanya" 9 km. Bentangan sejauh itu hanya 1/80 kali dari panjang Sesar Anatolia Timur yang membentang dalam jarak sejauh 700 km.
Patahan besar di Turki ini merupakan hasil pergerakan dua lempeng, yakni Lempeng Anatolia dan Lempeng Arab yang berada di bagian tenggara Turki.
Hampir seluruh wilayah Turki berdiri tepat di atas Lempeng Anatolia. Lempeng ini sendiri bertemu dengan Lempeng Eurasia di utara, Lempeng Arab di tenggara, dan Lempeng Afrika di selatan.
Lempeng Anatolia Timur membentang dari bagian tenggara Turki sampai bagian selatan negara ini di dekat perbatasan Turki-Suriah dan juga Laut Aegea yang merupakan bagian dari Mediterania.
Di ujung barat patahan Anatolia Timur ini bertemu tiga lempeng, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Arab dan Lempeng Afrika. Panjang lempeng yang sejauh 700 km itu hampir setara jarak Jakarta ke Surabaya.
Tidak mengherankan, jika jumlah korban akibat gempa ini begitu banyak yang kemungkinan besar masih akan bertambah sampai beberapa hari ke depan.
Seperti pada proses pencarian korban dan pemulihan gempa di mana pun di dunia ini, diduga masih banyak korban yang tertimbun yang belum ditemukan sampai beberapa hari mendatang.
Peta gempa
Itu baru Sesar Anatolia Timur, belum patahan besar lainnya yang melintang di wilayah utara Turki. Patahan besar lainnya di Turki adalah Sesar Anatolia Utara yang jauh lebih panjang mencapai hampir 1.500 km, menembus daratan Eropa. Jarak sejauh ini hampir sama dengan jarak ujung barat Pulau Jawa sampai Lombok di Nusa Tenggara Barat.
Sesar ini juga disebut-sebut jauh lebih maut ketimbang Patahan Anatolia Timur, selain memicu gempa lebih banyak ketimbang yang dipicu oleh Patahan Anatolia Timur itu.
Menurut data badan cuaca dan geofisika Amerika Serikat (USGS), sejak 1990 rangkaian gempa besar yang menimpa Turki lebih banyak terjadi di daerah baratnya atau di jalur sepanjang Sesar Anatolia Utara.
Sesar itu pula yang membuat sekitar 17.000 nyawa manusia melayang akibat gempa yang terjadi pada 1999 yang mencapai kota terbesar Turki di Istanbul.
Turki sudah pasti tak berada di Cincin Api Pasifik yang aktif menebarkan gempa dan letusan gunung berapi di Indonesia. Tetapi bencana Selasa 7 Februari itu tetaplah amat mengerikan, dan memicu kesadaran global mengenai keperluan mengenali alam semesta dengan lebih baik, termasuk Indonesia.
Indonesia sendiri sudah terlalu sering diamuk oleh gempa bumi. Bukan hannya gempa bumi, tetapi juga oleh gunung api yang meletus dan gelombang tsunami yang tak kalah kerap menerjang nusantara.
Ini karena Indonesia berada dalam pertemuan lempeng benua, yakni Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia, selain juga berdiri di atas lempeng-lempeng lainnya. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi wilayah dengan begitu banyak patahan yang ratusan di antaranya aktif.
Menurut Pusat Studi Gempa Nasional, pada 2017 saja jumlah patahan aktif di Indonesia mencapai 214. Peta gempa ini terus diperbarui yang tentunya belum mencantumkan sesar-sesar baru seperti Sesar Cugenang yang memicu gempa besar di Cianjur tiga bulan silam.
Dua hikmah besar
Dari semua itu ang menarik adalah data-data tersebut menunjukkan manusia sudah berusaha keras menyingkapkan rahasia-rahasia alam agar sesama umat bisa memperlakukan alam dengan benar dan bersiap menghadapi setiap kemungkinan terburuk.
Upaya ini juga menjadi bekal mengenai bagaimana manusia menghadapi situasi-situasi bencana dan mengantisipasi kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi bencana alam seperti gempa bumi acap terulang di tempat yang sama walau dalam periode waktunya yang tetap menjadi misteri yang nyaris abadi.
Sebagai makhluk yang beragama, bencana ini harus diyakini sebagai peringatan, tetapi belum tentu merupakan azab yang hanya sekadar siksaan.
Pada kebanyakan kasus, setiap bencana justru merupakan peringatan yang melecut umat manusia untuk semakin dalam mengetahui rahasia-rahasia alam yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia sehingga tidak cepat-cepat menghakimi bencana sebagai azab.
Upaya keras mengetahui rahasia alam pada dasarnya adalah juga bentuk kesalehan karena mencari jawaban atas pesan alam yang membuat manusia menjadi lebih bersiap menyelamatkan kehidupan sehingga setidaknya bencana tak terduga datangnya seperti gempa tidak merenggut korban lebih banyak lagi.
Lain hal, keserupaan bencana satu dengan bencana lainnya dari satu wilayah ke wilayah lain di seluruh dunia, justru mendorong empati, simpati dan solidaritas dari warga dunia yang menerabas segala perbedaan dan permusuhan. Ini juga ajaran mulia yang dititahkan semua agama.
Dalam konteks Gempa Turki, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyerukan solidaritas dan persatuan nasional menghadapi bencana yang tak pernah memilih etnis dan keyakinan manusia itu.
Seruan ini disampaikan kepada masyarakat Turki yang saat ini terbelah akibat polarisasi politik seperti umum terjadi di negara demokrasi modern mana pun di dunia ini.
Dunia sendiri serempak menyampaikan solidaritas kepada Turki. Tak hanya negara-negara yang berdekatan dan bersekutu dengan Turki, tetapi juga nun jauh di lintas benua, termasuk Indonesia yang sigap mengirimkan bantuan. Semua itu menunjukkan selalu ada dua hal atau dua hikmah besar yang muncul dari balik bencana.
Dua hal besar itu adalah upaya gigih manusia untuk semakin mengenali semesta sehingga umat menjadi semakin paham bagaimana seharusnya menghadapi dampak bencana atau bahkan mencegah kemungkinan dampak yang lebih buruk dari saat ini.
Hal besar kedua adalah mengalirnya empati dan solidaritas global yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang kerap memantik permusuhan dan sengketa.
Copyright © ANTARA 2023