JAKARTA (ANTARA) - Inilah era di mana media massa makin menyerupai media sosial, baik dari segi materi berita yang cenderung receh, hingga perilaku dalam memburu viewer. Padahal alasan kemunculan keduanya jelas berbeda dan para pelaku di baliknya tidaklah sama.

Media massa dibangun atas semangat menjadi penyampai informasi dalam rangka mendidik publik. Untuk tujuan itu, informasi yang diolah menjadi berita yang kemudian akan disebarluaskan haruslah mengandung unsur kebenaran, kebaikan, dan bermanfaat. Tanpa ketiganya, artinya sebuah berita kurang atau bahkan tidak layak dipublikasikan.

Mengutip pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate bahwa kualitas informasi bertumpu pada kebenaran dan ketika ditransmisikan ke ruang publik menghasilkan kebaikan, sehingga bermanfaat bagi bangsa.

Guna memenuhi standar kualitas berita, dalam proses pengolahannya para awak media tidak lupa melakukan langkah verifikasi, cek dan cek kembali, serta memperhatikan faktor keberimbangan. Kesemua itu dikerjakan oleh para profesional yang berada di balik kemunculan sebuah berita. Sebagaimana pernah dipesankan Presiden Joko Widodo yang meminta seluruh insan pers menjadi penjernih informasi dengan menyajikan berita terverifikasi, di tengah kegaduhan media sosial.

Berbeda dengan media massa, media sosial sejak mula kemunculannya diperuntukkan sebagai ajang pertemanan dan media berbagi (sharing) tentang apa saja yang hampir tidak ada batasnya. Para pengisi kontennya siapa? Mereka adalah para pengguna medsos yang berjuluk netizen atau warga internet (warganet). Warganet yang bisa masuk ke medsos tanpa proses seleksi sedikit pun, tentu berisi bermacam orang dari segala penjuru, dengan ragam latar belakang kelas sosial, budaya dan pendidikan. Maka wajar bila konten medsos begitu berwarna, ada yang berguna dan banyak pula yang tidak berfaedah.

Kabar baik dari maraknya media sosial adalah hidupnya praktik jurnalisme warga. Bahwa siapapun bisa menjadi “pewarta” yang bisa mengabarkan kejadian atau peristiwa yang dialami atau dilihatnya. Musibah atau kecelakaan besar, biasanya informasi dan gambar awal berasal dari warganet, barulah para wartawan berlarian ke lokasi kejadian untuk meliputnya.

Seperti dua sisi mata uang, medsos, selain memiliki sisi positif, juga menonjol dalam banyak hal negatif. Karena medsos adalah media padat penduduk, maka ciri yang paling menonjol adalah gaduh. Bila kegaduhan timbul karena memperdebatkan suatu isu penting, tidak masalah dan itu sehat. Tetapi jika keributan yang terjadi oleh karena masalah remeh, sungguh itu menimbulkan kegemasan tersendiri. Bahkan, boleh jadi separuh lebih energi warga masyarakat terkuras di jagat medsos karena terlibat dalam perang komentar atau larut mengikuti hal-hal yang viral.

Begitulah warna dan keunikan dunia lain yang kita sebut sebagai media sosial. Meski di sana terhampar banyak konten “sampah” yang tidak berfaedah, tapi mengingat kemajemukan para penghuninya, kadang menjadi alasan pemaaf untuk memakluminya. Meski Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang terbit pada 2008 dan kemudian direvisi pada 2016 telah menjadi rambu-rambu untuk sejumlah pelanggaran dan kejahatan di medsos, seperti pencemaran nama baik, berita bohong, ujaran kebencian hingga teror online, tapi tidak serta-merta kehidupan di sana otomatis tertib dan damai.

Sementara media massa yang semestinya menjadi panutan karena diawaki oleh para profesional yang kompeten dan berlisensi, sejak (setidaknya) satu dekade terakhir, malah tergoda oleh keriuhan yang terjadi di dunia berbeda, medsos. Media arus utama yang mungkin mulai merasa kesepian karena ditinggalkan para pembaca, pendengar, atau penonton berusaha mengejar keberadaan mereka di media sosial. Tak ayal, sekarang menjadi lazim konten berita disuguhkan di platform media sosial. Formatnya pun dikemas sesuai karakter medsos yang menjadi ladang rilisnya. Singkatnya, bukan hanya “numpang” siar di mimbar media sosial, media massa kini juga rela kehilangan karakternya demi menyesuaikan dengan tuan rumah.

Padahal realitanya, media massa memiliki bangunan rumah sendiri yang lebih kokoh dan tentunya dibangun dengan jerih payah, karena mendirikan media harus melewati proses panjang, salah satunya perizinan, selain modal besar, baik di awal pendirian maupun operasional selanjutnya.

Namun nyatanya, media massa malah membuat akun-akun medsos demi menjangkau audiens yang berada di sana. Sementara keberadaan media sendiri dipertahankan sebagai bukti eksistensi (saja).

Anomali yang terjadi tidak berhenti di situ, bagaimana selera warganet turut mempengaruhi warna pemberitaan di media massa, seolah menjadi hal biasa. Media yang dulunya menyiarkan berita yang perlu diketahui masyarakat, kini menyebarkan berita yang ingin diketahui warganet. Memenuhi hasrat dan selera warganet adalah kunci, demi trafik dan capaian viewer yang tinggi.

Bahkan, perilaku warganet dalam mencari informasi di mesin pencarian turut menjadi acuan bagaimana judul berita harus dibuat dan deretan diksi tertentu harus digunakan, berdasarkan pantauan topik yang tengah ramai diperbincangkan di dunia maya. Konten berita secara keseluruhan dikreasikan agar ramah mesin pencari. Demi itu semua, dan tunduk pada mesin pencarian, kadang media mengorbankan tata bahasa atau menghindari diksi sastrawi karena tidak dikenal oleh warga internet. Sampai ke mana selera warganet hendak kita (media massa) ikuti? Akankah hingga media arus utama kehilangan jati dirinya?

Padahal tugas mulia media massa adalah mendidik publik melalui penyebarluasan berita yang benar, baik dan bermanfaat. Adalah tugas media juga untuk meluruskan kesalahkaprahan yang menjadi lazim. Karena tugas mulia itulah, media idelanya menjadi pelopor, bukan pengekor, yang memproduksi berita berdasarkan isu-isu yang viral di medsos. Media arus utamalah yang seharusnya mem-”viral”-kan isu-isu penting yang perlu diketahui publik, bukan sebaliknya.

Lantas bagaimana agar media massa tetap diminati tanpa harus kehilangan jati dirinya? Mungkin perlu mengambil sisi asyik yang membuat warganet betah bermain di wilayah medsos, kemudian menciptakan suasana serupa itu di media massa. Apa saja sisi asyik medsos? Adanya partisipasi aktif publik yang membuat komunikasi di medsos berjalan banyak arah, sehingga menimbulkan keseruan.

Berbeda dengan media massa di mana audiens bersifat pasif yang hanya menerima berita, tidak banyak media membuka ruang umpan balik dan adminnya aktif merespons. Untuk mengundang ketertarikan audiens berkunjung ke laman media massa, perlu juga dihidupkan kembali ruang jurnalisme warga yang memungkinkan siapa pun ikut berkarya. Dan yang tak kalah penting adalah persoalan kemasan, bagaimana media tetap istikamah menyajikan berita berkualitas, namun dalam format ringan, enak dibaca dan seru ditonton. Dengan membangun keseruan di “rumah sendiri”, kiranya media massa akan kembali ramai diminati. Semoga Hari Pers Nasional 2023 menjadi momen media kembali ke jati dirinya!

Copyright © ANTARA 2023