Jakarta (ANTARA) - Industri dan perusahaan yang selama ini mengandalkan ruang fisik perlu menata dan memikirkan kembali perubahan ruang kerja mereka seiring pergeseran ke era digitalisasi dengan beralih ke ruang hybrid, menurut Cisco.
"Di tahun mendatang, pekerjaan hybrid akan memaksa industri dan perusahaan dengan ruang kerja fisik untuk memikirkan kembali ruang kerja mereka agar dapat mendorong lingkungan yang inklusif," kata Managing Director Cisco Indonesia Marina Kacaribu melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Strategi untuk perusahaan agar pekerjaan berhasil di era "hybrid"
Hal tersebut, kata Marina, akan terwujud melalui kolaborasi yang semakin erat antara departemen Teknologi Informasi (TI), Sumber Daya Manusia (SDM), dan fasilitas, dimulai dari mengintegrasikan fitur-fitur inklusif.
Fitur itu dapat berupa kecerdasan audio bertenaga AI, background noise cancellation atau peredam kebisingan, hingga pembaruan kebijakan karyawan dan pedoman perusahaan guna memastikan semua karyawan mendapatkan imbalan yang adil dalam jangka panjang di mana pun mereka bekerja.
Survei Dimensional Research pada 2020 berjudul "The Rise of the Hybrid Workplace" peningkatan signifikan pada karyawan yang bekerja dari rumah saat ini menunjukkan bahwa 98 persen rapat akan memiliki setidaknya satu peserta yang ikut secara jarak jauh. Namun, hanya 6 persen dari ruang rapat dan ruang kelas di seluruh dunia yang memiliki fitur video.
Sementara itu, masih menurut survei yang sama, 91 persen pekerja di Indonesia mengatakan bahwa mereka ingin bekerja dalam model kerja hybrid atau dengan sepenuhnya jarak jauh di masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa bisnis saat ini harus menjembatani kesenjangan dalam normalitas kerja yang baru.
Baca juga: Soal WFH/WFO di Jakarta, diserahkan ke pemberi kerja
Marina juga memandang pentingnya membangun fondasi digital yang kuat di era digital. Menurut Cisco, sekitar 67 persen responden di Indonesia percaya bahwa ketika masalah terkait konektivitas sering terjadi, hal tersebut dapat menghambat karier para pekerja jarak jauh. Namun, 28 persen di antaranya mengatakan perusahaan mereka masih membutuhkan infrastruktur jaringan yang tepat.
"Seiring dengan semakin terdistribusinya organisasi dan pengguna, kebutuhan akan akses ke aplikasi di mana saja dan kapan saja membutuhkan transformasi jaringan untuk menghadirkan konektivitas tanpa gangguan dengan tetap menjaga keamanan,” kata Marina.
Apalagi, bisnis dan layanan yang digerakkan oleh 5G diproyeksikan dapat memberikan kontribusi sekitar Rp2,8 kuadriliun kepada perekonomian pada 2030, merujuk pada studi Institut Teknologi Bandung.
Mengingat hal tersebut, Cisco menilai bahwa kombinasi Wi-Fi 6 dan 5G akan merevolusi cloud baru, edge, dan Internet of Things (IoT), serta membuka masa depan konektivitas yang baru bagi hampir semua industri.
Selain tentang teknologi, tujuan perusahaan, terutama terhadap dampak sosial dan lingkungan, diprediksi akan menjadi pusat perhatian di tahun mendatang. Hal ini ditunjukkan oleh Harvard Business Review yang menyebutkan lebih dari separuh perusahaan yang berjalan didampingi dengan tujuan yang kuat dilaporkan mengalami pertumbuhan bisnis 10 persen lebih besar dibandingkan dengan 42 persen perusahaan yang tidak memiliki tujuan yang kuat.
"Di Indonesia, hal ini dapat terwujud dalam bentuk kemitraan antara perusahaan publik dan swasta yang akan bekerja sama dalam menentukan kerangka kerja dengan pelaporan Environmental, Social and Governance (ESG), standar pengungkapan informasi, peraturan, dan target keberlanjutan," papar Marina.
Baca juga: Peran rak arsip dalam menata ruang kerja
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023