Jakarta (ANTARA News) - Seorang anggota Panitia Anggaran DPR menilai, terpuruknya rupiah terhadap dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) dua hari terakhir karena tampilan pemerintah lemah. "Pemerintah tak fokus selesaikan soal-soal mendesak seperti kebijakan energi, Garuda, buruh dan lain-lain dan ini berpengaruh pada `image` tampilan perekonomian nasional," kata anggota Panitia Anggaran DPR dari Komisi V DPR, Nusyirwan Soejono, kepada pers di Jakarta, Selasa. Penegasan tersebut terkait dengan melemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antar bank Jakarta, Selasa sore (16/5) yang merosot 355 poin menjadi Rp9.250/9.275 per dolar AS (pukul 15.30) dibanding penutupan hari sebelumnya Rp8.895/8.900. Sementara, Selasa pagi (16/5) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) juga kembali turun sebesar 59,053 poin atau 4,13 persen ke level 1.370,489. Menurut Nuryirwan yang juga politisi PDI Perjuangan, pemerintah terkesan tidak tegas (peragu), bahkan tidak punya konsep untuk menyelesaikan soal-soal krusial misalnya penghematan BBM nasional. Contohnya, dalam hal pengenaan pajak kendaraan di atas 2000 cc, pada awal 2005 sudah tinggal menunggu kepres, tetapi dibatalkan dan kini akan dimunculkan lagi oleh Bappenas. "Itu semua memperlihatkan tampilan kebijakan ekonomi yang tidak baik," tukasnya. Oleh karena itu, kata dia, dalam situasi seperti itu, sulit mengharapkan masuknya dana jangka panjang atau investasi langsung. "Jadi, yang mengangkat rupiah dan indeks BEJ beberapa waktu lalu, jelas karena dana dana jangka pendek yang setiap saat berpindah," katanya. Sementara itu, anggota Panitia Anggaran DPR dari Komisi V lainnya, Hadi Jamal menilai, anjloknya nilai rupiah dan indeks BEJ akan makin parah jika pemerintah tiba gilirannya membutuhkan dolar AS untuk membayar utang. "Pemain pasar sudah tahu itu. Artinya, penguatan rupiah-indeks sebelumnya memang tidak masuk akal. Jadi, selain soal suplai dan demand, juga karena fundamental rupiah dan indeks sebelumnya, tidak ada atau rapuh," kata Hadi Jamal.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006