Indosurya tidak pantas disebut sebagai KSP, lebih cocok disebut koperasi palsu.

Jakarta (ANTARA) - Bareskrim Polri dikabarkan bakal membuka kembali penyelidikan kasus baru Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya sebagai wujud perlawanan negara terhadap pelaku kejahatan investasi yang merugikan masyarakat.

Ada beberapa hal yang akan diselidiki oleh aparat, baik itu perkara pokoknya yakni penipuan dan penggelapan maupun tindak pidana pencucian uang.

KSP Indosurya sebelumnya diduga merugikan 23.000 orang dengan total kerugian mencapai Rp106 triliun.

Rencana penyelidikan oleh Bareskrim itu sesuai dengan arahan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.

Menko Polhukam dalam cuitannya pada Selasa (31-1) mendorong Bareskrim Polri melanjutkan penyelidikan kasus KSP Indosurya sesuai dengan tempat perkara (locus delicti) dan waktu (tempus delicti) masing-masing.

Sebagai praktisi koperasi, penulis harus menegaskan bahwa Indosurya adalah koperasi palsu. Penyebutan koperasi palsu perlu disematkan agar muncul pembeda apakah itu koperasi atau bukan.

Perlu dibahas mulai dari apa itu koperasi atau apa itu perusahaan yang mengaku koperasi, namun hanya untuk mengeruk keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat.

Koperasi sejati bisa disimak dari filosofi dan praktik usahanya. Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan siapa pun namun lebih jauh justru menjadi alat untuk membantu menyiapkan pengawasan yang tepat untuk koperasi di Indonesia ke depan.

Ke depan memang harus lebih banyak pihak yang mengambil tanggung jawab untuk memberikan penjelasan yang utuh terkait praktik koperasi palsu yang jelas-jelas menyimpang sebagaimana yang dilakukan oleh manajemen Indosurya.

Poin pertama yang ingin penulis sampaikan, Indosurya sejatinya bukan KSP. KSP atau koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang melakukan praktik usaha simpanan oleh anggota dan uang hasil simpanannya digunakan untuk memberikan pinjaman atau pembiayaan kepada anggotanya.

Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Indosurya. Setelah uang terkumpul sejak tahun 2012 sampai dengan 2020 atas perintah Henry Surya, sebagian dana tersebut dialirkan ke 26 perusahaan cangkang milik pendiri koperasi Henry Surya, sedangkan sisanya dibelikan aset berupa tanah, bangunan, dan mobil atas nama pribadi dan atas nama PT Sun Internasional Capital milik Henry Surya.

Melihat praktik culas tersebut maka menjadi jelas bahwa Indosurya tidak pantas disebut sebagai KSP, tetapi lebih cocok disebut sebagai koperasi palsu.

Henry Surya membuat koperasi simpan pinjam itu hanya dalih, tujuan sebenarnya semata-mata untuk mengelabui masyarakat yang membuat pengumpulan uang KSP Indosurya seolah-olah untuk kepentingan dan kesejahteraan para anggota. Padahal tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan penelusuran penulis, Indosurya melakukan penghimpunan dana dengan badan hukum Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti/Cipta yang dilakukan sejak November 2012 sampai dengan Februari 2020.

Penulis sangat mendukung upaya Kejagung merespons vonis bebas yang diterima pelaku, Henry Surya, pemalsu koperasi yang bisa berakibat pada citra negatif yang diterima oleh koperasi di seluruh Indonesia.

Dengan praktik culas Indosurya, semua koperasi yang baik di Indonesia akan terkena imbasnya secara sistemik. Hal ini sangat berbahaya dan merugikan nama baik koperasi.

Sebagai praktisi koperasi, penulis tidak pernah membaca istilah anggota koperasi dipakai di Indosurya, penulis selalu menemukan istilah nasabah--lazim digunakan perbankan--yang dipakai oleh Indosurya.

Hal lain juga layak untuk dikritisi. Indosurya yang mengaku koperasi tapi tidak memiliki struktur keanggotaan yang jelas. Penyimpangan ini juga harus dikejar untuk diproses hukum.

Hal ini penting untuk menjadi landasan bahwa Indosurya memang bukan koperasi tetapi koperasi palsu. Henry menggunakan badan hukum koperasi semata-mata hanya untuk kegiatan menghimpun dana masyarakat.

Indosurya dilaporkan memiliki 23.000 "nasabah" dengan mengumpulkan dana seluruhnya sebanyak Rp106 triliun. Berdasarkan hasil audit, "nasabah" yang tidak terbayarkan lebih dari 6.000 orang, dengan kerugian sebesar kurang lebih Rp16 triliun.

Jumlah tersebut tentu sangat besar dan saking besarnya, kasus Indosurya menjadi salah satu penipuan keuangan terbesar di Indonesia.

Dengan jumlah korban yang begitu banyak, para praktisi koperasi yang kelembagaannya dicatut oleh Indosurya harus bergerak dan melakukan pernyataan bersama bahwa koperasi yang benar tidak akan pernah melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh Indosurya.

Indosurya jelas-jelas melukai hati masyarakat karena mereka telah menjadi korban dari praktik bisnis curang Indosurya, mengumpulkan dana secara ilegal dengan memanfaatkan kelemahan hukum perkoperasian. Kelemahan ini dijadikan alasan untuk mengeruk keuntungan masyarakat.

Dari berbagai sumber, terkuak fakta bahwa Indosurya jelas-jelas bukan koperasi karena tidak pernah mereka melakukan rapat anggota yang memiliki kewenangan tertinggi, minimal 1 tahun sekali sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Rapat anggota tahunan (RAT) yang menjadi dasar untuk membuat berbagai keputusan penting koperasi tidak pernah dilakukan. Hal ini tentu semakin menguatkan bahwa Indosurya memang bukan koperasi.

Indosurya juga tidak pernah mengakui bahwa ia secara tegas memiliki anggota. Dari semua yang melakukan penyetoran uang, Indosurya menganggap penabung layaknya sebagai nasabah perbankan.

Nasabah yang direkrut tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan penting seperti pembagian sisa hasil usaha (SHU) setiap tahunnya, berbagai macam keputusan penting lembaga, dan tidak dimintai persetujuan ketika terjadi perubahan nama koperasi menjadi Kospin Indosurya Cipta.

Dengan fenomena ini terlihat bahwa hanya ada beberapa orang yang menjadi aktor utama dalam praktik penipuan oleh Indosurya ini. Jika benar Indosurya adalah koperasi tentu akan ada pengurus, pengawas, dan anggota yang secara aktif melakukan kontrol terhadap aktivitas koperasinya. Dengan demikiam makin jelas bahwa Indosurya memang koperasi palsu.

Indosurya dalam melakukan ekspansi dan memperluas wilayah dengan membuka dua kantor pusat dan 191 kantor cabang di seluruh Indonesia, misalnya, juga tanpa pemberitahuan kepada Kementerian Koperasi dan UKM serta tidak diketahui oleh anggota.

Hal tersebut semata-mata adalah perintah dari Henry Surya yang dibantu oleh Junie Indira dan Suwito Ayub. Artinya memang Indosurya benar-benar mempraktikkan nilai dan manajemen yang jauh dari koperasi.

Koperasi harus taat asas, misalnya, jika membuka wilayah pelayanan maka harus memberitahukan kepada dinas koperasi dan UKM kabupaten/kota di mana koperasi akan memperluas jaringannya sekalipun koperasi berbadan hukum nasional.

Indosurya yang melakukan ekspansi seharusnya mendapat izin dari Kementerian Koperasi dan UKM. Akan tetapi hal-hal prinsip ini juga tidak dilakukan.

Pada praktiknya,dalam perkara Indosurya, kita tidak bisa serta merta menyalahkan Kemenkop UKM. Karena, di papan nama Indosurya jarang tertulis KSP Indosurya sehingga Kemenkop UKM bisa jadi tidak menduga Indosurya berbadan hukum koperasi sejak awalnya.

Kasus Indosurya ini diharapkan menjadi yang terakhir di Indonesia sebagai perkara penipuan yang mengatasnamakan koperasi.


Solusi

Saat ini pemerintah sedang menyusun RUU Perkoperasian sekaligus merespons terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang mengatur koperasi, baik close loop maupun open loop.

RUU Perkoperasian harus mampu memasukkan institusi yang mampu melakukan pengawasan efektif terhadap munculnya koperasi-koperasi palsu yang dapat merugikan citra koperasi di mata masyarakat.

Kasus Indosurya bisa menjadi momentum bagi koperasi-koperasi di negeri ini untuk meningkatkan kinerja mereka, agar tumbuh, berkembang, dan menjadi lebih kokoh lagi pada masa mendatang.

Koperasi yang memiliki jiwa bisnis dan sosial sekaligus harus terus membangun public relation atau kehumasan yang baik sehingga citra koperasi di mata masyarakat kian baik pula.

Jika pengurus koperasi secara bersama-sama dan masif terjun langsung ke anggota dan masyarakat untuk melakukan banyak kegiatan pemberdayaan, tentu tidak perlu khawatir oleh pemberitaan negatif tentang koperasi.

Karena, masyarakat akan lebih tahu mana koperasi yang asli dan mana koperasi yang palsu.


Kamaruddin Batubara, SE, ME; Presiden Direktur Koperasi BMI Grup, Direktur Utama Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia, Penerima Anugerah Satyalancana Wira Karya Presiden RI (2018), Penulis Buku Model BMI Syariah, Buku MTS dan MTA dan Buku Koperasi Sosiopreneur, Penerima Rekor Muri Program Hibah Rumah Siap Huni Melaui Koperasi (2020).


Copyright © ANTARA 2023