Hal ini diharapkan mampu menjadi jembatan dan katalis untuk transfer teknologi, sehingga menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan perbaikan kondisi pertambangan emas skala kecil di Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan teknologi alternatif pengolahan emas tanpa merkuri untuk pertambangan rakyat di Indonesia.
Inovasi itu adalah proyek kolaborasi yang dijalankan oleh Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang didukung oleh United Nation Development Program (UNDP).
"Hal ini diharapkan mampu menjadi jembatan dan katalis untuk transfer teknologi, sehingga menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan perbaikan kondisi pertambangan emas skala kecil di Indonesia,” kata Peneliti dari Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN Dadan Nurjaman dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Dadan mengatakan pihaknya telah membangun proyek percontohan pengolahan emas bebas merkuri di Desa Kalirejo, Kulonprogo, Yogyakarta.
Proyek percontohan tersebut mengadaptasi teknologi pelindian sianidasi. Proses pengolahan hingga pengelolaan limbahnya didesain melalui serangkaian studi dan optimasi, sehingga aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Baca juga: Pemerintah kaji teknologi alternatif pengolahan emas bebas merkuri
BRIN bertugas memberikan bantuan teknis yang mendukung program nasional penghapusan merkuri pada pertambangan emas rakyat.
"Konstruksi pilot plant didesain dan dibangun menggunakan sumber daya lokal atau dalam negeri dengan material yang murah dan mudah untuk didapatkan, dengan bahan baku bijih yang diproyeksikan berjenis bijih emas primer yang mengandung emas berukuran sangat halus,” jelas Dadan.
Pengolahan emas tanpa merkuri yang dilakukan proses sianidasi banyak dilakukan oleh para penambang emas rakyat. Biji emas dihancurkan dan penggilingan dengan menggunakan ball mill yang berukuran hampir sama dengan yang digunakan di tambang rakyat yaitu berdiameter 30 sentimeter.
Menurut Dadan, proses penggilingan emas sebetulnya bisa menggunakan berbagai material penggerus yang bagus, tetapi mahal dan butuh perawatan lebih. Selain itu, lokasi tambang juga jauh dari pemukiman, sehingga sulit untuk mendapatkan onderdil dari bola baja.
“Alternatif pertama adalah menggunakan bola baja dari ukuran kecil sampai besar. Kedua juga bisa menggunakan sumber daya lokal atau kearifan lokal, yaitu menggunakan batu dari endapan sungai yang modelnya sudah relatif subbrownded atau berwarna kecoklatan,” paparnya.
Baca juga: BPPT: pengolahan emas menggunakan merkuri membahayakan manusia
Lebih lanjut Dadan menyampaikan penggunaan bola baja dan batang baja memerlukan waktu sekitar tiga jam. Sedangkan material alternatif memakan waktu empat jam.
Dari hasil proses bijih emas menjadi halus sebesar 200 mesh, lalu dilanjutkan dengan sirkulasi lumpur, kemudian dimasukkan ke tangki pelidian dan diolah, dilakukan pencampuran dengan beberapa bahan pelarut yang menggunakan sianida.
"Pada proses sianida, setelah 4-6 jam ditambahkan karbon aktif. Dalam prosesnya selama 48 jam, nanti emasnya akan terlarut oleh sianida," katanya. Setelah 48 jam karbon aktif disaring dan dipisahkan. Selanjutnya abu campuran emas dilebur untuk mendapatkan produk berupa batangan emas.
Sisa lumpur yang masih mengandung sianida bebas sebesar 200 ppm bisa dipompa kembali untuk dilakukan destruksi racunnya. “Kami mengintervensi teknologi itu bukan hanya mengalihkan metoda dari merkuri ke non-merkuri, tetapi juga bagaimana menangani limbahnya supaya aman dibuang ke lingkungan,” pungkas Dadan.
Baca juga: KLHK tingkatkan fasilitas pengolahan emas nonmerkuri di tiga provinsi
Baca juga: Pengolahan emas rakyat Kulon Progo mulai bebas merkuri
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023