Kinshasa (ANTARA) - Paus Fransiskus mengakhiri kunjungan ke Republik Demokratik Kongo pada Jumat dan bertolak ke negara tetangga Sudan Selatan, yang sudah berjuang puluhan tahun untuk mengatasi konflik dan kemiskinan ekstrim.
Kali ini adalah kunjungan ketiga Fransiskus ke Afrika sub-Sahara sejak kepausannya dimulai pada 2013.
Walau dia yang berusia 86 tahun itu disambut meriah oleh massa di ibu kota Kongo, Kinshasa, dia menyaksikan kenyataan dampak perang, kemiskinan, dan kelaparan yang melanda negara itu.
Pada Rabu (1/2), dia mendengar cerita para korban konflik di Kongo timur yang melihat langsung pembunuhan kerabat dekat mereka dan menjadi sasaran perbudakan seksual, amputasi, dan kanibalisme secara paksa.
Fransiskus mengutuk kekejaman itu sebagai kejahatan perang dan mendesak semua pihak, baik internal maupun eksternal, yang memprakarsai peperangan guna menjarah sumber daya mineral di Kongo, untuk berhenti memperkaya diri dengan "uang yang berlumuran darah".
Francis menekankan bahwa konflik yang terjadi dipicu oleh keserakahan, dan mengatakan warga Kongo dan seluruh dunia harus menyadari bahwa manusia lebih berharga daripada sumber daya mineral yang terkandung di bumi.
Baca juga: Studi: Lebih banyak anak meninggal secara tak langsung akibat konflik
Setelah bertemu dengan para uskup Kongo di Kinshasa pada Jumat pagi dan menghadiri upacara perpisahan di bandara, pesawat Francis dijadwalkan lepas landas pada pukul 09.40 GMT atau 16.40 WIB menuju Juba, ibu kota Sudan Selatan, dan akan mendarat sekitar pukul 13.00 GMT atau 20.00 WIB.
Di Sudan Selatan, Fransiskus akan ditemani oleh Uskup Agung Canterbury Justin Welby, kepala Komuni Anglikan di seluruh dunia, dan oleh Moderator Majelis Umum Gereja Skotlandia, Iain Greenshields.
Ini adalah perjalanan luar negeri bersama pertama dari ketiga pemimpin Kristen itu, yang mereka sebut sebagai ziarah perdamaian.
Baca juga: Paus Fransiskus desak kaum muda Afrika untuk jauhi korupsi
Sudan Selatan memerdekakan diri dari Sudan pada 2011, setelah konflik utara-selatan yang berlangsung lama.
Pada 2013, perang saudara terjadi kembali dan meskipun kedua pihak telah mencapai kesepakatan damai pada 2018, kekerasan dan kelaparan masih melanda negara itu.
Fransiskus telah lama ingin mengunjungi Sudan Selatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, tapi selalu tertunda karena ketidakstabilan di lapangan.
Salah satu gestur paling luar biasa dari kepausannya yaitu saat Fransiskus berlutut untuk mencium kaki para pemimpin perang Sudan Selatan di Vatikan pada April 2019, dan mendesak mereka untuk tidak lagi melakukan perang saudara.
Sumber: Reuters
Baca juga: PBB: Kekerasan di Sudan Selatan tewaskan 166 warga sipil
Penerjemah: Kenzu Tandiah
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023