Membangun ekosistem bagaimana negara besar bergantung ke kita. Itulah yang kita namakan hilirisasi.

Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa kebijakan hilirisasi industri menjadi kunci bagi Indonesia untuk menghindari jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap.

Menurut Presiden, hilirisasi tersebut merupakan strategi besar yang tengah dirancang pemerintahannya guna membangun ekosistem yang membuat negara-negara besar bergantung kepada Indonesia.

"Strategi besar inilah yang sedang dirancang, membangun ekosistem bagaimana negara besar bergantung ke kita. Itulah yang kita namakan hilirisasi," kata Jokowi saat menghadiri puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-8 Partai Solidaritas Indonesia (PSI), di Jakarta, Selasa malam.

Middle income trap adalah suatu keadaan di mana sebuah negara sukses melakukan peningkatan ekonomi hingga di level menengah, tetapi kemudian terjebak dan tertahan di tingkat yang sama.

Menurut Presiden Jokowi, middle income trap banyak ditemui di negara-negara kawasan Amerika Latin, yang sudah menjadi negara berkembang sejak medio 1950-1960, tetapi hingga saat ini terjebak di level yang sama.

"Saya enggak usah sebut nama negaranya...saya pelajari ini ada apa? Kenapa seperti ini? Kenapa semua negara di sana jadi seperti itu? Itu yang namanya terjebak dalam negara pendapatan menengah, middle income trap. Karena apa? Mereka tidak menawarkan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh negara lain," katanya pula.

Agar tidak terjebak nasib serupa, Presiden juga mempelajari pengalaman sejumlah negara yang bisa melakukan lompatan hingga membuat negara-negara besar mengalami ketergantungan, yakni Korea Selatan dan Taiwan.

Untuk Korea Selatan, menurut Presiden, Negeri Ginseng itu melakukan lompatan lewat kemampuan membuat komponen-komponen digital yang dibutuhkan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Sedangkan Taiwan melakukannya lewat kemampuan memproduksi chip.

"Dia (Taiwan, Red) bisa bikin namanya chip yang semua perusahaan besar yang berkaitan dengan itu tergantung pada dia. Beli semuanya harus ke dia. Ada ketergantungan negara lain ke Taiwan," katanya.

Menurut Presiden, Indonesia punya peluang untuk menciptakan kondisi serupa lewat kekayaan alam yang ada di Tanah Air yang sangat penting dalam kebutuhan pembuatan baterai kendaraan listrik (EV-battery) atau baterai litium.

"Itu ada komponen dari nikel, tembaga, timah, di situ ada komponen bauksit yang semuanya harus disatukan, integrasikan, sehingga muncul EV-battery dan babak selanjutnya ekosistem lebih besar yang namanya mobil listrik, yang ke depan mau nggak mau semua negara akan cari ini," ujarnya.

Tantangan bagi Indonesia, ujar Jokowi, adalah kondisi geografis mengingat bahan-bahan tambang yang dibutuhkan untuk EV-battery tersebar seperti nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, tembaga di Papua dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), bauksit di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau, serta timah di Bangka Belitung.

Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia harus berani mengintegrasikan itu semua melalui pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) di sana sini demi menyatukan komponen-komponen tersebut menjadi EV-battery dan lebih jauh mobil listrik.

Pemerintah Indonesia sebelumnya telah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020, yang diakui Jokowi menghadapi tentangan dan gempuran dari negara-negara Uni Eropa, yang mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Jokowi menegaskan bahwa keberanian menghadapi gugatan-gugatan tersebut diperlukan apabila Indonesia ingin menghindari nasib terjebak middle income trap.

"Menteri-menteri tanya ke saya, 'Pak gimana kita digugat?'. Digugat ya dihadapi. Kalau digugat kemudian mundur jangan berharap negara ini akan jadi negara maju. Jangan berharap. Kita (bisa) seperti yang saya ceritakan di awal sebagai background Amerika Latin tadi," ujar Jokowi lagi.
Baca juga: Jokowi pastikan Indonesia banding atas kekalahan sengketa nikel di WTO
Baca juga: Bahlil: Peta hilirisasi tuntas dengan investasi 545,3 miliar dolar

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023