Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, dua hakim yakni hakim Suhartoyo dan hakim Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda

Jakarta (ANTARA) - Dua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI yakni Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion) soal gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan pemohon terkait perkawinan beda agama.

"Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, dua hakim yakni hakim Suhartoyo dan hakim Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda," kata Ketua MK Anwar Usman di Jakarta, Selasa.

Pada kesempatan itu, hakim konstitusi Suhartoyo menyampaikan alasan tambahan yang berbeda. Pertama, dasar hukum sahnya perkawinan dan kebebasan/kemerdekaan memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing diatur dalam ketentuan norma sebagai berikut.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah "ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Berikutnya, Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi-tiap-tiap perkawinan dicatat menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Ayat (2) berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca juga: Menko PMK: Putusan MK soal nikah beda agama beri kepastian

Baca juga: MK tolak gugatan UU Perkawinan yang diajukan pemuda Papua

Selanjutnya, Hakim Suhartoyo mengatakan mengacu pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa" menunjukkan Indonesia bukanlah negara penganut sekularisme.

Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

"Ketiga dasar hukum tersebut menjadi bentuk konkret negara di dalam memaknai hakikat perkawinan dan juga negara di dalam menjamin kebebasan masyarakat dalam memilih dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing," kata dia.

Ia mengatakan dasar hukum tersebut secara filosofi dibangun karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara plural yang memiliki keragaman suku, budaya, ras, agama dan kepercayaan.

Berkaitan dengan norma yang diuji dalam perkara a quo, keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu regulasi yang sama berpotensi saling melemahkan, bahkan keberlakuan nya baik secara aktual maupun potensial bertentangan.

Senada dengan itu, hakim Daniel Yusmic P. Foekh berkeyakinan persoalan perkawinan beda agama adalah sebuah persoalan yang secara nyata ada dan patut diduga terus berlangsung sampai sekarang serta di masa-masa yang akan datang.

Setidaknya, ujar dia, terdapat beberapa pola yang warga negara lakukan untuk melakukan perkawinan beda agama. Pertama, melakukan perkawinan di luar negeri, salah satu mempelai dari pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama untuk sementara berpindah agama mengikuti agama pasangannya.

Ketiga melangsungkan perkawinan sebanyak dua kali dimana perkawinan pertama, misalnya, mengikuti agama calon suaminya dan setelah itu menikah lagi (perkawinan kedua) menurut agama dari istrinya atau sebaliknya.

"Ketiga pola tersebut di satu sisi dianggap semacam bentuk penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama, namun di sisi yang lain merupakan langkah 'terobosan' sendiri dari pasangan calon perkawinan yang beda agama karena ketiadaan hukum perkawinan beda agama," jelas dia.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023