Mataram (ANTARA News) - Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies (CPEES), DR Kurtubi, mengungkapkan keterpurukan perminyakan Indonesia diakibatkan kebijakan pemerintah Indonesia yang menerapkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001. "Penerapan UU 22/2001 yang menggantikan UU nomor 8 tahun 1971 menjadi biang kerok terpuruknya perminyakan Indonesia, terlebih dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia sekarang," katanya sebagai mana diberitakan ANTARA di Mataram, Senin. Keberadaan Kurtubi di Mataram untuk memberikan ceramah pada Lokakarnya Peningkatan profesionalisme wartwan dan redaktur PWI Cabang NTB di Mataram, Sabtu malam. Dikatakannya kebijakan penerapan Undang-undang nomor 22/2001 tersebut banyak investor asing yang terpaksa hengkang dan tidak ada lagi investor baru yang berani melakukan investasi dibidang perminyakan. Iklim investasi yang diakibatkan dari penerapan perundang-undangan itu menyebabkan para investor asing "enggan" menanamkan modal usahanya, sehingga aktivitas eksploirasi bidang tambang ataupun perminyakan menjadi relatif vakum. Hal demikian itu berdampak buruk bagi perkembangan produksi minyak Indonesia, karena tidak bisa meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri atapun dunia yang terus melonjak. Penemuan-penemuan sumber-sumber minyak baru berkurang drastis, dan hampir tidak ada, sementara produksi dari sumber minyak yang ada selama ini kian berkurang. "Keengganan investor asing untuk melakukan investasinya terhambat oleh kebijakan pemerintan Indonesia menerapkan ketentuan perundang-undangan nomor 22 tahun 201 tersebut," katanya menegaskan. Kurtubi mencontohkan bahwa dengan penerapan perundang-undangan 22/2001 itu, investor yang ingin melakukan eksplorasi sudah dikenakan kewajiban-kewajiban yang sangat memberatkan. Yang lebih konyol lagi, pemerintah berdasarkan ketentuan tersebut membatasi kewenangan Pertamina dan membentuk Badan (BP Migas) guna menjual produksi minyak Indonesia. Kebijakan demikian itu sangat merugikan penjualan Indonesia, karena BP Migas bukan badan usaha dan tidak memiliki kapasitas memadai untuk melakukan pengembangan dan penjualan migas. BP Migas dalam menjual produksi minyak Indonesia menggunakan pihak ketiga, sehigga hasil pengembangan ataupun penjualan menjadi tidak optimal. "Saya kurang menyetujui kebijakan seperti itu, karena negara sangat dirugikan. Produksi minyak kita tinggal sekitar satu juta barel per-hari sementara kebutuhan mencapai 1,4, mengakibatkan Indonesia mengalami defisit," katanya. Menjawab pertanyaan wartawan, Kurtubi menyatakan predikat "vokal" dan yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah seperti itu didorong oleh rasa ingin menyelamatkan keterpurukan bangsa ini. Pengetahuan yang dimiliki setelah menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi di luar negeri mendorong dirinya untuk berbuat dan mengungkapkan kebenaran, meskipun harus menghadapi tantangan yang tidak ringan. "Mungkin saja kritisi saya itu tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, tetapi saya berkewajiban untuk mengingatkannya, terlebih kebijakan itu sangat merugikan negara dan masyarakat," demikian Kurtubi. (*)

Copyright © ANTARA 2006