berkontribusi pada mahalnya ongkos pendidikan yang harus ditanggung anak-anak di pedesaan dan di luar Jawa
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Asa Dewantara mendorong pemerataan akses pendidikan bagi anak-anak yang berada di pedesaan di luar Jawa karena masih banyak yang belum mendapatkan hak dasar itu khususnya anak usia dini.
“Itu agar solusinya bisa dirumuskan secara tepat,” kata Direktur Eksekutif Asa Dewantara Abdul Malik Gismar di Jakarta, Senin.
Hal tersebut seiring kajian Asa Dewantara yang menunjukkan kesenjangan akses pendidikan sudah terjadi di jenjang pendidikan anak usia dini yaitu sebanyak 14,94 persen atau 12.560 desa tidak memiliki akses ke semua jenis PAUD baik PAUD, TK, RA atau BA.
Bahkan pada 2021 hanya ada 40,17 persen atau 7,62 juta dari total anak berusia tiga sampai enam tahun yang terdaftar di PAUD sedangkan dari 59,83 persen atau 11.35 juta yang tidak terdaftar di PAUD itu 57,5 persen di antaranya tinggal di desa.
Malik mengatakan kesehatan menjadi salah satu kontributor keberlanjutan pendidikan anak seperti adanya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan gizi buruk.
Jarak sekolah yang jauh juga merupakan kontributor karena ternyata jarak rata-rata PAUD terdekat di desa mencapai 18,77 kilometer sedangkan di perkotaan 3,15 kilometer.
Tingkat pendidikan tertinggi yang bisa ditamatkan kelompok paling miskin atau kuintil satu dan rentan miskin atau kuintil dua berumur di atas 15 tahun pun hanya sekolah dasar (SD) dengan jarak rata-rata SD terdekat mencapai 4,98 kilometer.
Baca juga: Sebanyak 22 sekolah di Aceh Jaya belum terakses jaringan internet
Baca juga: Rektor: Digitalisasi beri peluang perluasan akses pendidikan
Meski terdapat program Wajib Belajar dan Sekolah Gratis, sekitar 8,16 persen atau 2.11 juta dari total anak berusia tujuh sampai 12 tahun di Indonesia tidak terdaftar di jenjang sekolah dasar (SD) dengan 55,22 persen di antaranya tinggal di desa.
Tak hanya itu, persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas di dua kelompok itu juga semakin rendah di jenjang SMP, SMA dan perguruan tinggi yang bahkan hampir tidak ada kelompok paling miskin bisa menamatkan perguruan tinggi.
“Persentasenya (kelompok paling miskin ke jenjang perguruan tinggi) hanya 3,02 persen dan kelompok rentan miskin hanya 4,74 sedangkan kelompok paling kaya mencapai 24,31 persen,” katanya.
Hal itu terjadi karena rendahnya angka partisipasi sekolah turut terjadi di tingkat SMP yaitu sekitar 24,4 persen atau 3,35 juta dari total anak berusia 13-15 tahun tidak terdaftar di SMP dengan 55,96 persen di antaranya tinggal di desa.
Sedangkan untuk tingkat SMA sekitar 31,32 persen atau 4,17 juta dari total penduduk usia 16-18 tahun tidak bersekolah di jenjang ini dengan 54,19 persen di antaranya tinggal di desa.
Jarak sekolah pun menjadi faktor yakni jarak SMP terdekat adalah 5,93 kilometer sedangkan SMA 11,07 kilometer bahkan di luar Jawa seperti Maluku dan Papua SMA terdekat berjarak 20,4 kilometer.
Kondisi itu berkonsekuensi pada tingginya biaya transportasi yakni sebanyak 8,9 persen warga desa mengeluarkan ongkos lebih dari Rp500.000 per bulan ke SMP maupun SMA terdekat.
“Ini perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan solusinya karena berkontribusi pada mahalnya ongkos pendidikan yang harus ditanggung anak-anak di pedesaan dan di luar Jawa,” tegas Malik.
Asa Dewantara merupakan lembaga independen nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga Indonesia.
Baca juga: BPKP kawal program peningkatan akses pendidikan di Kemendikbud Ristek
Baca juga: Mendikbudristek sebut Merdeka Belajar upaya perluasan akses pendidikan
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023