Jakarta (ANTARA) - BPJS Kesehatan menganggarkan dana tambahan Rp9 triliun untuk merespons pembiayaan perawatan kesehatan peserta yang muncul dari hasil program skrining penyakit pada tahun ini.
"Dengan adanya skrining tahap awal, biaya kesehatan pasti akan meningkat, sehingga BPJS Kesehatan pada tahun ini menganggarkan khusus untuk skrining dan perawatan yang terdeteksi, paling tidak Rp9 triliun tambahan alokasi anggaran," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti dalam acara Outlook 2023, Diskusi Publik 10 Tahun Program JKN di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan program skrining penyakit yang lebih intensif dilakukan pada tahun ini terdiri atas riwayat kesehatan, Diabetes Melitus (DM), Kanker Serviks, dan Kanker Payudara.
Skrining riwayat kesehatan dapat dilakukan peserta melalui aplikasi Mobile JKN, Website BPJS Kesehatan, Chat Assistant BPJS Kesehatan (CHIKA) maupun saat peserta berkunjung ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Skrining Diabetes Melitus dilakukan dengan pemeriksaan kadar gula darah. Skrining Kanker Serviks dilakukan melalui pemeriksaan IVA atau papsmer, sedangkan skrining kanker payudara dilakukan melalui pemeriksaan payudara klinis.
Ghufron mencontohkan kalau seseorang sudah menderita hipertensi sekaligus penyakit Diabetes Melitus, maka yang bersangkutan memiliki 30 persen risiko mengalami gagal ginjal krononis dan memerlukan layanan cuci darah.
"Sepekan biasanya dua kali cuci darah. Sekali cuci darah, minimal butuh biaya Rp820 ribu. Kalau RS Tipe A, BPJS Kesehatan bayarnya Rp1,2 juta lebih, ini luar biasa dan umumnya bisa terbantu," katanya.
Baca juga: RUPSLB Kimia Farma tunjuk mantan Dirut BPJS Kesehatan jadi komut
Ia mengatakan keuangan BPJS Kesehatan yang bersumber dari pendanaan gotong royong peserta, hingga 2022 telah meningkat Rp144 triliun dari rata-rata per tahun Rp40,7 triliun pada periode sebelumnya.
"Jadi memang sangat besar (keuangan BPJS Kesehatan, red.) kalau dibandingkan kementerian lain, ini bisa melebihi dan jadi persoalan tersendiri, karena ini dana milik peserta," katanya.
Peningkatan dana tersebut, kata Ghufron, juga diiringi dengan pertambahan kepesertaan yang saat ini sudah hampir 250 juta atau hampir 90 persen lebih dari populasi Indonesia.
Jumlah pemanfaat layanan juga terus menerus meningkat. Pada 2014 hanya 92,3 juta pengguna, pada 2021 meningkat 392 juta pengguna, dan 2022 meningkat 502 juta lebih pengguna layanan BPJS Kesehatan.
"Ini setara dengan sehari lebih dari satu juta pemanfaatan layanan BPJS Kesehatan," katanya.
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan kenalkan telemedisin di University of California
Dalam acara yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasanugraha mengatakan layanan BPJS Kesehatan saat ini relatif lebih terjangkau untuk diakses masyarakat.
"Saya ingat dulu, bagaimana orang dulunya sangat susah atau sangat takut ke rumah sakit, karena siapa pun dia, mau miskin atau setengah kaya, cenderung akan jatuh miskin karena harus menjalani perawatan," katanya.
Semangat gotong royong dari peserta BPJS Kesehatan untuk mendanai perawatan, kata dia, berhasil mendobrak peningkatan permintaan masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Menurut dia, peningkatan permintaan perlu didukung dengan pasokan layanan yang optimal, yang sejalan dengan Program Transformasi Kesehatan.
Salah satunya pada pilar transformasi layanan rujukan dengan memperkuat layanan kesehatan pada proses skrining penyakit.
"Empat hal yang akan kami berikan dukungan utama, yakni kanker, ginjal, jantung, dan stroke," katanya.
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan: Konsep KRIS perlu dipersiapkan matang
Baca juga: Dirut BPJS: Optimalisasi JKN jamin perlindungan kesehatan masyarakat
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023